EsaiMatur Opini

Novel Si Anak Pelangi: Belajar Memaknai Keragaman

Tulisan ini mungkin mengandung beberan (spoiler) isi dari novel Si Anak Pelangi karya Tere Liye. Apabila kamu tidak berkenan akan hal tersebut, mohon untuk tidak melanjutkan membaca tulisan ini.

Akhir tahun selalu lekat dengan perayaan Natal dan tahun baru. Alih-alih merayakan dengan sukacita, kita cenderung was-was menghadapi hari tersebut tiba. Tak lain karena perayaan tersebut seringkali menimbulkan perselisihan. Jangankan perkara agama, kita bahkan masih suka berdebat tentang bubur diaduk dan tidak atau adu argumen tentang membaca buku elektronik (e-book) atau buku cetak.

Soal perbedaan dan bagaimana respon atasnya, saya baru saja menyelesaikan novel anak dengan tema serupa. Buku itu berjudul Si Anak Pelangi.

Buku Si Anak Pelangi yang terdiri dari 367 halaman ini, menceritakan tentang Rasuna yang tinggal di lingkungan yang sangat beragam, dengan segala permasalahannya. Buku Si Anak Pelangi termasuk dalam kategori novel anak, dengan rating Goodreads 3.86 pada 22 Desember 2021 ini. Nilai tersebut cukup rendah apabila dibandingkan dengan buku-buku serial anak sebelumnya yang kisaran ratingnya ada pada angka 4.20 hingga 4.30.

Tenyata buku ini tidak secara langsung ditulis oleh Tere Liye, melainkan dengan Sarippudin sebagai co-Author. Tere Liye merupakan penulis yang telah menghasilkan lebih dari 50 buku. Tidak seperti penulis lain yang namanya biasa tercantum pada halaman belakang, Tere Liye tidak mencantumkan identitasnya dalam buku ini. Namun, memang tidak jarang Tere Liye menggunakan co-Author dalam bukunya, contohnya saja buku Komet dan Komet Minor oleh Diena Yashinta.

Buku ini pertama kali dipublikasikan pada Maret 2021, sedangkan versi ebook yang belum melalui penyuntingan telah dipublikasikan sejak Desember 2019 di Google Play Books. Buku ini merupakan buku ke-7 Serial Anak-anak yang menceritakan kisah Rasuna. Serial anak-anak awalnya hanya terpusat pada anak-anak Mamak; Eliana (buku Si Anak Pemberani), Burlian (buku Si Anak Spesial), Pukat (Si Anak Pintar), dan Amelia (Si Anak Kuat). Kemudian muncul buku Si anak Cahaya yang merupakan kisah dari Nurmas (sang Mamak). Hingga akhirnya serial tersebut meluas jadi Serial Anak atau Serial Anak Nusantara.

Baca Juga  Konsep Moderasi Beragama, Apakah Benar - Benar Diperlukan Untuk Muslim?

Saya yang awalnya beranggapan serial ini berhubungan dengan serial anak mamak, merasakan adanya perbedaan yang cukup besar antara buku ini dengan buku-buku sebelumnya. Pertama, sekali pun serial anak mamak berkisah tokoh yang berbeda, keempat tokoh tersebut masih berasal dari keluarga yang sama, sehingga ada kedekatan yang sudah terbangun apabila sudah membaca buku-buku sebelumnya. Sedangkan pada buku ini, kedekatan itu tidak ada.

Buku ini mengangkat tema keberagaman. Bermula dari sekolah Rasuna yang kedatangan murid baru bernama Yose, yang memperkenalkan dirinya sebagai Yose Hitam. Rasuna merasa panggilan tersebut tidak seharusnya diberikan pada Yose, sekalipun warna kulitnya memang hitam. Meskipun Yose tidak keberatan dengan nama panggilan itu, Rasuna merasa itu tidak pantas dan lebih memilih memanggilnya dengan nama Yose tanpa imbuhan apa-apa.

Kehidupan sekolah Yose berjalan seperti biasa, hingga pada suatu hari ada yang memalaknya di depan sekolah. Tidak hanya berhenti di situ, lama-kelamaan orang tersebut justru mengancam Yose agar tidak bersekolah di tempat tersebut. Ancaman tersebut juga berupa spanduk yang dipasang di depan sekolah, berisi tulisan bahwa anak berkulit hitam dilarang bersekolah di sana.

Tidak hanya terjadi pada Yose, tulisan yang menjelek-jelekkan suatu daerah, suku, dan agama juga kerap mewarnai dinding tempat umum. Hingga pada akhirnya kerusuhan terus menyebar dan makin tak terkendali. Sejak saat itu, Yose menghilang dari sekolah.

Awalnya ia hanya pamit dengan alasan acara keluarga, tetapi ia tak kunjung kembali ke sekolah. Setelah ditelusuri, tenyata rumah Yose bahkan diserang. Seseorang melempar batu yang dibungkus kertas ke kaca rumahnya. Kertas tersebut bertuliskan ‘Jangan coba-coba kembali ke sekolah”

Menanggapi Perbedaan

Sejak awal, Rasuna digambarkan sebagai anak yang sadar bahwa perbedaan tidak perlu dibesar-besarkan. Ia sadar bahwa Yose berkulit hitam, namun tidak lantas membuatnya berhak memanggil dengan sebutan Yose Hitam.

Baca Juga  Pendidikan sebagai Sarana Pembangun Kesadaran Kritis dan Peningkatan Kualitas Diri Perempuan

Sewaktu mengetahui temannya mendapat ancaman, Rasuna dengan berani menantang orang tersebut dan akirnya dengan bantuan teman-temannya, orang tersebut pergi. Ia juga menggagas kegiatan Sekolah untuk Semua dengan cara memasang poster di mading dan mengampanyekan bahwa siapa saja boleh bersekolah di sana, tidak peduli dari suku dan ras apapun. Kegiatan tersebut berlanjut dengan pembuatan video yang menampilkan gambar Yose di sebuah kain besar bertuliskan ‘Sekolah untuk Semua’ dengan disertai tanda tangan guru dan teman-temannya. Video tersebut kemudian ditayangkan di televisi. Misi tersebut berhasil, Yose bisa kembali bersekolah dan tidak perlu pindah.

Peran Penting Seorang Buya

Buya Syafi’i berperan penting terhadap pembentukan sikap anak-anak dalam menghadapi perbedaan. Sebagai guru ngaji, interaksi beliau dengan anak-anak justru sangat intens. Anak-anak dengan mudah bercerita, berdiskusi, dan meminta saran. Tentu ini bukan hanya perkara mereka dapat membaca Al-Qur’an atau tidak.

Buya Syafi’i menggambarkan peran ustadz, guru, pendidik, dan tokoh agama sebagai mata tombak yang mampu mengubah cara pandang banyak orang terkait perbedaan. Buya mengajarkan untuk selalu kritis terhadap segala informasi yang diterima. “Periksa! Periksa! Periksa!” ucapnya.

Suatu hari ketika muridnya datang membawa suatu kabar, Buya dengan santai menanggapi, “Oi, kau jadi orang keberapa dalam berita ini, Noor?” Sebab ia mendapat kabar dari ayahnya, sedangkan ayahnya mendapatkan kabar dari orang lain lagi. “….kalau Buya cerita pada orang lain, Buya akan jadi orang kelima, dan begitu seterusnya. Menurut kalian, cerita dari orang ke orang ini akan tambah jelas atau tidak?” lanjutnya.

“Makin tidak jelas, Buya,” jawab murid-muridnya.

Dari sini kita dapat melihat bahwa Buya mampu mengajar tanpa menggurui, membangun pemahaman dengan kesadaran.

Baca Juga  Manusia Dalam Pandangan Al-Qur'an

Mari kita akhiri tulisan ini dengan kutipan kalimat dari Buya Syafi’i:

“Merasa lebih hebat itu tidak boleh ditunjukkan dengan menjelek-jelekkan orang lain. Kalau kalian merasa lebih hebat, tunjukkannlah dengan prestasi, dengan pekerti, sehingga orang lain menyadari sendiri bahwa kalian lebih hebat. Itulah lebih hebat yang bermanfaat.” (halaman 141)


Editor : Rahayu Suciati

Ilustrator : Sofyan Adi Nugroho

5 2 votes
Article Rating

Rahayu Suciati

Ingin jadi lentera; membara dan bermuara.

Related Articles

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Back to top button