EsaiMatur Opini

Review Film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta Pespektif Antropologi Politik

Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta, sebuah film karya Hanung Bramantyo yang menceritakan sejarah Kerajaan Mataram Islam. Lebih khusus film itu menggambarkan perjalanan hidup Sultan Agung sebagai salah satu raja Mataram Islam kala itu.

Masa muda Sultan Agung memiliki nama Raden Mas Rangsang, merupakan anak dari istri kedua sultan yang memimpin Mataram kala itu. Film kolosal ini cukup menarik karena mengangkat cerita mulai dari masa muda Sultan Agung, perebutan tahta kekuasaan, hingga kisah percintaan yang dibungkus dengan baik oleh sutradara.

Ada banyak hal ketika kita meilihat kisah sejarah sultan agung ini, bias di lihat dari sudut pandang perfilman sendiri, dari sudut pandang sejarah islam Jawa, hingga kondisi politik pada masa itu. Namun lebih khusus film ini akan dibahas dari sisi antropologi politik, dimana tatanan masyarakat dan kaitannya dengan politik akan menjadi fokus bahasan.

***

Tidak ada yang menginginkan hidup menjadi seorang raja. Begitu juga dengan Raden Mas Rangsang Muda (Marthino Lio) yang harus hidup jauh dari orang tuanya sejak kecil. Ia dititipkan di sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Jejer (Alm. Dedy Sutomo). Di padepokan, Raden Mas Rangsang diajarkan untuk hidup sederhana, seperti masyarakat biasa. Ia belajar agama, budaya, dan bela diri. Ia pun jatuh cinta di tempat ini. Sampai pada akhirnya, Raden Mas Rangsang mendapatkan kabar yang membuat hatinya gundah.

Sang Ayahanda dan pemimpin kerajaan Mataram meninggal dunia. Keinginanan Raden Mas Rangsang sebagai warga biasa dihadang oleh kepentingan kerajaan yang harus melanjutkan tahta. Raden Mas Rangsang “dipaksa” meninggalkan kehidupan bahagianya di padepokan termasuk cintanya untuk Lembayung (Putri Marino).

Titah raja, ramalan Sunan Kalijaga dan nasehat dari Ki Jejer membuat Raden Mas Rangsang harus membuat pilihan sulit sekaligus berani. Ia harus memutuskan apa yang akan terjadi pada kerajaan Mataram selanjutnya. Haruskah bertahan? Atau ditikung oleh para pengkhianat atau dihadang perompak yang hobi “dansa-dansi” bernama VOC? Semua cerita ini dirangkum dalam mengulang kembali cerita sejarah tentang Sultan Agung.

Baca Juga  Mengarungi Kebijaksanaan Jalaludin Rumi

Dari segi Antropologi Politik, ada beberapa hal yang mungkin bisa kita dapatkan dari film ini,  di antaranya yaitu sistem religi, sistem kekerabatan, dan stratifikasi sosial.

Sistem Religi

Dalam film Sultan Agung ini digambarkan tentang bagaimana ajaran agama Islam bersanding dengan budaya jawa tanpa ada sekat. Kita tahu bahwa sebelum islam masuk, masyarakat jawa sudah memiliki keyakinan sendiri, yaitu Animisme Kejawen yang mempercayai roh nenek moyang. Selain itu sebagian masyarakat juga sudah beragama Hindu Budha. Sehingga ketika Islam datang dan dibawa oleh para wali, Islam tidak langsung mengubah tatanan masyarakat secara utuh dan menggunakan pendekatan budaya yang sudah ada. Hal ini membuat Islam mudah diterima oleh masyarakat.

Akulturasi budaya yang terjadi pada masa Mataram Islam juga terasa sangat kental. Dalam film Sultan Agung pun kita bisa melihatnya secara visual, bagaimana gambaran akulturasi budaya Jawa dengan Islam. Namun Film ini tidak bisa digunakan sebagai sumber valid sejarah Mataram Islam itu sendiri. Pun memang penulis menyadari tentang minimnya literatur yang digunakan. Hanung sendiri, sebagai sutradara, mengatakan bahwa jika ingin mempelajari sejarah tidak boleh dari film, film hanya menjadi gambaran kasar visual tentang kondisi pada saat itu.

Selain itu sistem religi saat itu menganut ajaran Sunan Kalijaga, yang bisa kita lihat ceitanya dengan adanya padepokan tempat Raden Mas Rangsang belaja sewaktu muda. Ajaran ajaran walisongo khusus nya Sunan Kalijaga sangat di junjung erat. Dalam sebuah film tentunya ada kelebihan dan kekurangan, sangat disayangkan ketika kondisi padepokan tempat santri mengaji, justru di gambarkan dengan pakain yang tidak sesuai norma jawa dan islam. Hal ini bisa di salah artikan oleh sebagian orang.

Baca Juga  Kisah Pembajakan di Negeri Penuh Kecurangan

Sistem Kekerabatan

Kondisi yang digambarkan dalam film ini tak bisa dilepaskan dari sistem kekerabatan, dimana hubungan kekerabatan Patrilineal masih sangat terlihat. Garis keturunan laki-laki mendominasi kekuasaan yang ada. Wanita saat itu tidak banyak yang mengambil peran dalam sosialnya. Konstruksi sosial yang meletakkan perempuan di bawah laki-laki. Kalau kita lihat di film Sultan Agung, kita akan menemukan bahwa raja merupakan anak laki-laki pertama dari istri pertama, atau apabila istri pertama tidak memiliki anak laki-laki maka bisa anak istri kedua, dan seterusnya.

Stratifikasi Sosial

Ada jarak yang bisa kita lihat dalam Film tersebut, yaitu jarak antara kelas sosial yang ada di masyarakat Jawa Islam. Stratifikasi sosial menjadi hal yang tak terelakan karena sudah ada sejak Islam belum datang. Ketika Islam datang, Walisongo mencoba untuk mempertahankannya, walaupun dengan ukuran yang berbeda. Stratifikasi sosial yang ada, mendeferensiasikan elemen-elemen masyarakat, yang tentunya akan mempengaruhi tatanan politik kekuasaan. Kekuasaan hanya dimiliki oleh segolongan kelompok: keturunan raja.

Editor : Amilia Buana Dewi Islamy

Ilustrator : Creative of MaturMu.ID

Related Articles

Back to top button