EsaiMatur Opini

Analisis Sesat Pikir (Logical Fallacy) dalam Memahami Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021

Terbitnya Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi untuk menanggapi banyaknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang beberapa waktu terakhir ini terungkap satu per satu, menuai banyak reaksi pro dan kontra dari masyarakat.

Bagaimana tidak, bagi pihak yang setuju, mereka beranggapan bila peraturan tersebut tidak hanya membantu para korban, tetapi juga bisa menegakkan keadilan yang selama ini tidak jelas hukumnya. Sedangkan bagi pihak yang kontra, frasa ‘tanpa persetujuan korban’ menjadi fokus bagi beberapa pihak untuk berargumen bila peraturan tersebut secara tidak langsung melegalkan perbuatan ‘seks bebas’ atau zina, yang beberapa waktu lalu menjadi bahan hangat untuk diperbincangkan.

Menanggapi hal tersebut, banyak yang kemudian mencoba untuk membedah penggunaan dan maksud dari ‘tanpa persetujuan korban’. Hasilnya, memperlihatkan pada kita bila terdapat sesat pikir (logical fallacy) dalam memahami peraturan tersebut.

What is logical fallacy?

Menurut Irving (1990: 91) dalam bukunya “Introduction to Logic: Eighth Edition“, logical fallacy atau sesat pikir merupakan suatu proses bernalar yang salah sehingga membuat argumen yang dikemukakan seseorang juga menjadi salah. Ada dua hal yang menyebabkan suatu argumen dikatakan salah. Pertama, apabila premis-premis yang menyusun sebuah argumen tersebut salah sehingga kesimpulan yang mengikuti pun menjadi salah meski dasar dari penalaran terbentuk dari premis yang valid. Kedua, suatu argumen menjadi salah apabila seseorang menetapkan kesimpulannya benar meskipun pada kenyataannya premis yang membangun argumen tersebut tidak menggambarkan kesimpulan yang dicari.

Ada berbagai macam bentuk logical fallacy yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari, beberapa di antaranya yaitu :

  1. Ad Hominem, merupakan salah satu bentuk logical fallacy dengan ciri argumennya menyerang karakter lawan bicara berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang didapat.
  2. False Cause, merupakan argumen yang disusun berdasarkan hubungan sebab akibat suatu kejadian meski sebenarnya belum tentu ada hubungan yang kuat antara sebab akibat tersebut.
  3. Black or White, merupakan argumen yang menempatkan lawan pada posisi apabila dia tidak memilih hitam, maka ia putih, dan begitu sebaliknya.
  4. The Straw Man, merupakan argumen yang digunakan seseorang yang ingin terlihat benar dalam perdebatan dengan cara menempatkan lawan dalam posisi buruk sehingga terlihat salah.
  5. Appeal to Authority, merupakan kondisi di mana seseorang berargumen dengan merujuk pada pernyataan suatu tokoh/seseorang yang dianggap terpandang.
  6. Complex Question,  merupakan sebuah kesalahan berpikir dengan mengajukan serangkaian pertanyaan kompleks untuk membuktikan kesimpulan yang diyakini.
  7. The Red Herring, merupakan pengalihan pembicaraan dari masalah utama. Hal ini bertujuan untuk membingungkan orang atau mengalihkan fokus dari hal utama.
Baca Juga  Mengarungi Kebijaksanaan Jalaludin Rumi

Dari beberapa bentuk logical fallacy di atas, masih banyak bentuk sesat pikir yang biasanya digunakan ‘dengan sengaja’ dalam kehidupan sehari-hari, tentu dengan tujuan masing-masing.

Analisis Sesat Pikir (Logical Fallacy) dalam Memahami Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021

Banyaknya pihak yang kontra dan menyatakan secara terang-terangan atas ketidaksetujuannya terhadap peraturan Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 dengan argumen bila peraturan ini jelas melegalkan ‘seks bebas’ atau perzinaan sebagai wujud nilai liberalisme, tentu menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Padahal Plt. Dirjen Kemendikbud Ristek, Nizam menyatakan bila asumsi tersebut muncul karena mispersepsi mengenai tujuan dari Permendikbud Ristek yang sebenarnya. Nizam menjelaskan bahwa hal ini adalah cara untuk ‘mencegah’ bukan sebagai pernyataan untuk ‘legalisasi’ tindakan apa pun diluar dari upaya pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi (Kemendikbud, 2021).

Dalam hal ini jenis logical fallacy yang muncul adalah pertama, sesat pikir formal jenis “Denying The Antecedent” di mana memiliki alur deduksi:

Premis 1
Jika P, maka Q
= “Jika hubungan seksual dilakukan tanpa persetujuan (non-konsensual), maka tidak diperbolehkan.”

Premis 2
Bukan P
= “Hubungan seksual tersebut konsensual.”

Kesimpulan
Maka, bukan Q
= “Maka hubungan seksual tersebut diperbolehkan.”

Padahal seharusnya penalaran deduktif yang valid adalah:

Modus Ponens
Jika P, maka Q = “Jika hubungan seksual dilakukan tanpa persetujuan (non-konsensual), maka tidak diperbolehkan.”
P = “Hubungan seksual tersebut non konseksual.”
Maka Q = “Maka hubungan seksual itu tidak diperbolehkan.”

Modu Tollens
Jika P, maka Q = “Jika hubungan seksual dilakukan secara non-konsensual, maka tidak diperbolehkan.”
P = “Hubungan seksual tersebut diperbolehkan.”
Maka Q = “Maka hubungan seksual tersebut konsensual.”

Kedua, Black or White/False Dichotomy, merupakan argumen yang menempatkan lawan pada posisi apabila dia tidak memilih hitam, maka ia putih, dan begitu sebaliknya. Padahal ada garadasi maupun pilihan lain selain hitam dan putih. Orang yang menggunakan cara berpikir ini menyimpulkan bahwa bila kegiatan seksual tersebut didasari dengan persetujuan satu sama lain (consent), maka hal tersebut diperbolehkan oleh Permendikbud ristek. Padahal, di luar hal tersebut tentu ada hukum yang mengatur —norma agama, adat istiadat, dsb— di luar ruang lingkup peraturan Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 yang hanya terfokus pada:

  1. Langkah pencegahan terjadinya tindak kekerasan seksual (KS)
  2. Penanganan laporan KS
  3. Peningkatan keamanan kampus dari berulangnya tindak KS
Baca Juga  Lupakan Fakta, Toh Kita Akan Sampai pada Simpulan yang Sama

KetigaThe Straw Man, merupakan argumen yang digunakan seseorang yang ingin terlihat benar dalam perdebatan dengan cara menempatkan lawan dalam posisi buruk sehingga terlihat salah. Seperti, Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 ini hanya berfokus pada perbuatan yang tidak melibatkan persetujuan korban, berarti bila korban setuju maka perbuatan tersebut diperbolehkan.

Kesimpulan

Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 pada dasarnya hanya bertujuan untuk mencegah terjadinya kasus, menindaklanjuti, dan melindungi korban kekerasan seksual yang terjadi di dalam kampus. Tujuannya jelas: demi menciptakan ruang belajar aman bagi mahasiswa serta semua civitas akademika, bukan berarti melegalkan seks bebas yang diatur oleh norma-norma dan hukum berlaku di luar peraturan tersebut.


Referensi:

Frida, @kimfricung, https://www.instagram.com/p/CWaTb8FPHfq/?utm_medium=copy_link

Irving. 1990. Introduction to Logic: Eighth Edition. London: Macmillan

Kemendikbud. (2021, November 8). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,Republik Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses pada tanggal 6 Januari 2022. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/11/permen-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-perguruan-tinggi-tuai-dukungan

Taufiqurrahman, @philtaufiq. Diakses pada tanggal 6 Januari 2022. https://twitter.com/philtaufiq/status/1458973543387910145?t=Jai54jLjUuR-NxkhYxZ4BQ&s=19


Editor : Amilia Buana Dewi Islamy

Ilustrator : Sofyan Adi Nugroho

5 3 votes
Article Rating

Nagita Aisyah

An activist who is also a reader, writer, and traveller. IG @nh_aisyah17

Related Articles

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Back to top button