EsaiMatur Opini

Corona dan Lelucon Kaum Kita

Covid-19 pertama kali terdeteksi di Cina pada akhir 2019. Virus tersebut diketahui menginfeksi seorang Ibu Rumah Tangga (IRT) berusia 64 tahun dan putrinya 31 tahun pada 27 Februari 2020. Sampai pada 25 April 2020, Covid-19 telah mewabah pada tubuh 3.599 warga DKI Jakarta. Tetapi, sifat sok tahu, banyak tingkah dan ceroboh sudah mewabah di tubuh sebagian kaum kita jauh sebelum Covid-19 menginvasi Indonesia. Mirisnya, ‘kelakuan’ itu masih dengan bangga diperlihatkan, meski kita tahu fakta bahwa ratusan jiwa saudara kita telah pergi karena virus ini.

Mari kita menengok sedikit ke belakang, ketika pasien positif tertular Covid-19 di Cina telah mencapai 5 digit. Tepatnya di awal Februari sebagian besar masyarakat Indonesia masih begitu percaya diri. Waktu itu, katanya, rakyat kita kebal akibat terbiasa hidup dalam iklim tropis dan memiliki fisik yang kuat. Tak hanya itu, orang-orang Indonesia ‘kabarnya’ telah menemukan obat herbal yang dapat menangkal virus Covid-19, sementara belum ada satu pun pasien positif dinyatakan sembuh di Cina. Bagi saya itu adalah lelucon pembuka, preseden bagi lelucon-lelucon selanjutnya.

Mungkin kita agak samar, ketika virus ini masih menginfeksi orang-orang lokal Cina. Rasa prihatin tentu banyak, tetapi cercaan atas mereka yang tertimpa musibah jauh lebih banyak dari yang kita duga. Yang sedari awal saya risaukan adalah tentang lantangnya kaum kita meneriakkan kata ‘azab’ dengan mengutip ayat-ayat kitab suci sesuka hati.

Dan well, tak lebih dari satu bulan, empat puluh satu ribu warga Iran dinyatakan positif terinfeksi; pendeta berguguran; dokter meninggal satu per satu tanpa memandang agama. Akhirnya, senandung-senandung satu bulan lalu sudah begitu berat untuk kita ucapkan hari ini.

Melihat begitu konyolnya hal ini, bagi saya, Covid-19 ini mencerminkan kualitas rakyat dalam memandang sesuatu. Ada yang salah dengan kaum kita (bisa jadi stakeholder pendidikan atau teknisnya). Dalam perspektif duniawi, penarikan konklusi kita kadang menyalahi aturan logika. Pada bulan Februari, salah satu Walikota di Pulau Kalimantan dengan entengnya menyuruh warga untuk santai saja menghadapi wabah ini. Sebab katanya corona akan lenyap pada bulan Maret. Ia mengatakan hal tersebut tanpa ada penjelasan, tanpa ada bukti riset, dan tanpa ada pertimbangan sama sekali.

Tak kalah menggelikan, muncul pernyataan bahwa berkumur-kumur dengan air garam dipercaya dapat mencegah laju virus corona di kerongkongan. Harga garam langsung melonjak. Begitupun dengan jahe yang harganya ikut naik karena meningkatkan imun tubuh. Juga tentang rebusan air bawang putih yang tanpa penjelasan pasti. Hal itu kemudian langsung dipercayai. Padahal, kita sudah sama-sama paham bahwa salah satu pusat pengobatan alternatif ataupun tradisional ialah di Cina.

Kegagalan kita tak hanya sampai di situ. Dalam perspektif ukhrawi, ternyata kita juga terkadang gagal dalam memahami konsep fundamental dalam beragama, yaitu menjaga diri dan apapun yang ada di bumi. Melihat masih banyaknya orang yang melakukan ibadah di tempat ibadah, membuat saya sepakat dengan Dr. Arrazy Hasyim, bahwa kita selalu menjadi orang yang salah paham. Bab fikih selalu saja dimasukkan ke dalam bab tauhid. Sehingga, sesuatu yang dapat dilonggarkan justru kita anggap sebagai jihad fii sabilillah.

Sedikit mendengarkan argumentasi mereka, rupanya, mereka merasakan upaya pelemahan agama. Terbukti dari ramainya pasar, sedangkan masjid dipaksa untuk ditutup. Tetapi, alibi ini tentu tak dapat diterima. Sifat kekanak-kanakan itulah yang harus diubah. Analoginya seperti anak kecil yang merengek karena tak diizinkan bermain, sedangkan yang lain bebas berkeliaran. Mengapa kita tidak ubah saja logikanya? Bahwa ini adalah sebuah kemajuan. Masjid, gereja, dan rumah ibadah lain lebih awal ditutup karena kecerdasan orang-orang di dalamnya dalam membaca situasi: paling awal dalam menginisiasi. Ini sangat menarik. Kita yang tampak di depan membela agama, bisa saja menjadi pembelok takdir, relakah kita? Ketika Tuhan menakdirkan bahwa kiamat terjadi akibat letusan gunung, gempa bumi, dan peristiwa alam yang lain, sedangkan manusia telah musnah sebelum Dajjal, Imam Mahdi dan instrument kiamat yang lain kapan turun?


Editor : Amilia Buana Dewi Islamy

Ilustrator : M. Aidrus A

5 2 votes
Article Rating

Andi Muhaimin Darwis

Komunitas Taman Pustaka

Related Articles

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Check Also
Close
Back to top button