Kosmopolitanisme Islam Ditengah Pandemi Covid-19

Setelah dihebohkan oleh pernyataan presiden Jokowi yang linglung soal mudik dan pulang kampung, para perantau desa akhirnya menunda kepulangan. Meskipun telah terjadi penyebaran orang di berbagai daerah, itu tak menjadi alasan kuat bagi mereka untuk pulang kampung. Bagaimana mau pulang kampung sedangkan rasa takut sedang menyelimuti mereka. Bukan pada virus, karena sejak dulu mereka selalu dihantui virus “kelaparan”, tetapi pada penolakan warga kampung.
Di beberapa tempat, sudah banyak kejadian seperti ini. Contohnya di Jogja, dua warga asli Bambanglipuro yang habis kena PHK di Jakarta ditolak oleh warga kampung mereka sendiri. Akhirnya pemerintah setempat bergerak cepat untuk menanganinya.
Penolakan itu terjadi sebelum pemerintah pusat mengumumkan pelarangan mudik/pulang kampung yang berarti kebingungan tengah terjadi di masyarakat. Kebingungan yang bisa menimbulkan kepanikan, dan berujung pada kejadian fatal seperti itu seharusnya tidak terjadi jika edukasi masif diberikan sepenuhnya. Siapa yang bertanggung jawab memberikan edukasi? Semua pihak tentu mempunyai peran masing-masing. Toh jika pemerintah saja yang diandalkan, sepertinya tidak akan banyak yang berubah.
Ramadhan sebetulnya menjadi momentum yang paling dirindukan oleh para pekerja itu. Iya, berkumpul bersama keluarga, saling berbagi pengalaman, saling menebar kebahagiaan. Tetapi apalah daya, keadaan sedang tidak berpihak. Mereka harus melalui bulan kemenangan ini tanpa senyuman keluarga. Uluran tangan? Semoga banyaknya pihak yang berkontribusi bisa memperbaiki nasib mereka, setidaknya untuk pandemi saat ini.
Begitu pula nasib tenaga medis, kaum miskin kota, pekerja sektor informal, para anak-anak jalanan yang tidak punya rumah, yang masih harus tetap bertarung di tengah pandemi ini. Bertarung untuk imun, bertarung untuk iman. Justru, solidaritas antar rakyat bisa membuat kita semua menjadi kuat.
Mulai dari solidaritas pangan hingga para pemberi edukasi dengan sekuat tenaga menggalang kekuatan demi hidup bersama. Dengan masuknya bulan Ramadhan, kemenangan semakin terlihat dengan jelas. Sekali lagi, jika hanya mengandalkan pemerintah, sepertinya tidak akan banyak yang berubah.
Umat Islam punya kekuatan “bonus” pada bulan ini. Bulan berkelimpahan berkah ini menjadi ajang menggalang kekuatan untuk membantu sesama. Bukan bermaksud momentum-momentuman, tetapi ini adalah waktu yang tepat untuk membuktikan Islam yang universal dan kosmopolit, bahwa bantu-membantu tanpa memperhatikan suku, ras, agama, maupun bangsa sangat dijunjung tinggi oleh umat Islam.
Potensi yang dimiliki umat Islam di Indonesia begitu besar untuk menghentikan penyebaran Covid-19 yang semakin hari semakin meresahkan saja. Adanya anjuran memperbanyak sedekah dan diwajibkannya zakat fitrah jika sampai nisabnya, bukan omong kosong jika bulan ini adalah bulan kemenangan. Iya, kemenangan kita atas virus corona ini.
Kosmopolitanisme Islam
Akibat virus corona, banyak orang yang menunjuk China sebagai biang kerok atas semuanya. Terutama USA selaku korban utama dalam pandemi ini. Angka kematian cukup tinggi di sana, sebab warganya susah diperingatkan. Pemerintahnya pun terkesan lambat dalam menangani.
Di samping itu, banyak bermunculan teori-teori konspirasi, orang-orang mendadak bak sejarawan sekaligus futurolog menjelaskan bahwa virus corona adalah senjata biologis pemusnah massal. Banyak beranggapan, adanya suatu organisasi khusus yang ingin mendepopulasikan setengah umat manusia sebagai cita-cita mewujudkan tatanan dunia yang baru. Mboh, sepertinya mereka merasa tersaingi oleh Muhammadiyah yang ingin mewujudkan tatanan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Wallahu A’lam.
Semua itu tentu berhubungan dengan kehangatan antar warga dunia.
Di sinilah kosmopolitanisme Islam mengambil peran, bagaimana umat Islam ikut terlibat sebagai warga dunia, turut menghentikan penyebaran virus mematikan ini. Dan sorotan utama tentu ada pada Indonesia sebagai negara dengan muslim terbanyak.
Mengapa kosmopolitanisme Islam? Muhammadiyah telah menegaskan dalam “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua”, bahwa Indonesia sendiri memiliki nilai-nilai utama yang menjadi akar kebudayaan seperti semangat gotong royong, daya juang tinggi, tahan banting, dan tentu sangat relevan di tengah era globalisasi yang kompetitif, dinamis, keunggulan, dan berkemajuan.
Sebagai respon tentang persoalan kemanusiaan universal, Muhammadiyah mengembangkan wawasan Islam yang kosmopolitan, yakni kesadaran tentang kesatuan masyarakat dunia melampaui sekat-sekat etnik, golongan, kebangsaan, dan agama.
Islam yang kosmopolitan berusaha membangun solidaritas warga dunia dengan menyampingkan perbedaan dan pemisahan jarak yang bersifat primordial dan konvensional.
Dialog antar peradaban dipilih sebagai solusi dibanding membuat hegemoni atas kebudayaan yang lain. Sebab, akar perpecahan justru dipicu melalui politik kebudayaan, sebagaimana praktik kolonialisme menyebabkan munculnya superioritas-inferioritas kebudayaan antar sesama umat manusia.
Harusnya Indonesia bisa bekerja sama dengan negara-negara lain yang sukses menghentikan penyebaran virus corona. Lockdown yang diterapkan seperti di Wuhan misalnya, bisa dijadikan teladan bagi pemerintah dalam menghentikan penyebaran virus. Ini salah satu bentuk dialog antar bangsa, bagaimana kita saling memperkenalkan nilai-nilai luhur kebudayaan dan agama sebagai wajah asli kosmopolitanisme Islam.Begitu pula dengan kecerdasan dan kearifan lokal, tidak bisa disampingkan perannya dalam menghadapi era globalisasi saat ini, ditambah betapa besar kontribusinya untuk menghentikan penyebaran virus corona.
Sebagai contoh, di Sulawesi Selatan, dikenal namanya Gumbang. Sebuah kendi dari tanah liat yang berfungsi menyimpan air. Biasanya, Gumbang ini diletakkan di samping tangga rumah panggung. Sebelum naik (masuk) maupun turun(keluar) rumah, masyarakat Bugis-Makassar telah dibiasakan untuk mencuci tangan dan kaki.
Maka dari itu, sepatutnya dalam suasana bulan ramadhan sekaligus pandemi saat ini, kita tidak perlu saling menyalahkan satu sama lain atas apa yang terjadi. Memang ramadhan kali ini berbeda, bukan berarti merubah apa yang telah menjadi kebiasaan kita, yaitu memperkuat solidaritas antar umat Islam dan umat manusia seluruhnya.
Dengan banyaknya dinamika kebangsaan yang sempat membuat umat terpecah. Namun lewat virus corona dan ramadhan, Allah mengajarkan kepada kita betapa mahalnya sebuah persatuan.
Editor : Marham Sari Zainuddin
Ilustrator : M. Aidrus A