EsaiMatur Opini

Lupakan Fakta, Toh Kita Akan Sampai pada Simpulan yang Sama

Seratus dua puluh delapan ribu manusia meregang nyawa di Italia. Sementara itu, delapan puluh enam ribu orang yang ditangisi keluarganya di Iran dan kita kehilangan enam puluh tujuh ribu warga Indonesia. Sungguh! Covid-19 itu nyata. Persoalan berbahaya atau tidak, saya tidak memaksa siapa pun untuk katakan bahwa ini berbahaya. Terlebih untuk kaum yang sepakat dengan konspirasi, “senjata” ini diciptakan untuk siapa dan untuk apa, terserah! Paling tidak mari kita sepakati dulu bahwa Covid-19 itu nyata.

Sejak 9 Maret 2021, Walikota Makassar, Danny Pomanto, telah mengesahkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang menuai tanggapan pro dan kontra. Hal tersebut menjadi isu yang paling hangat saat ini. Tepat pada poin 7 dan 10, masyarakat mengindikasi adanya diskriminasi oleh pemerintah kepada golongan tertentu. “Mengapa masjid ditutup, sedangkan diskotik dibuka? Kacau pemerintah,” kata mayoritas masyarakat.

Apa masyarakat salah? Tidak juga. Ini adalah respons langsung masyarakat yang menandakan corak keagamaan masih sangat kental. Mereka tidak senang ketika kegiatan keagamaannya diusik. Namun mungkin saja cara pandang pemerintah dalam mengambil keputusan ini sedikit berbeda dari yang lain. Pemerintah mungkin berpikir bahwa salat di masjid itu sunah dan bisa dilakukan di mana saja, kemudian mencari rezeki adalah wajib.

Lalu mengapa Tempat Hiburan Malam (THM) tetap dibuka? yah mungkin saja itu persoalan lain bagi pemerintah. Pertama, Mereka juga setara dengan pencari cuan yang lain (cafe, dan sebagainya). Kedua, selama ini mereka memang beroperasi, tapi toh masyarakat adem-adem saja.

Jadi siapa yang benar? Pemerintah atau masyarakat? Kita berikan saja kebebasan masing-masing untuk beropini. Selama berpegang kepada argumen yang shahih, maka itu halal.

Namun, dalam rangka membentuk argumentasi yang shahih, rupanya ada peringatan dari Tom Nichols di dalam buku Matinya Kepakaran (2018). Beliau menyebutnya “bias konfirmasi”. Sebuah kondisi di mana seseorang cenderung mencari bukti yang hanya mendukung pendapatnya atau apa yang ia percayai. Kecenderungan ini tentu memiliki konsekuensi: bahwa fakta tidak lagi berguna. Masing-masing pihak sudah berdiri pada suatu kesimpulan yang tidak akan pernah berubah seterang dan sebanyak apapun bukti yang disampaikan.

Gejala bias konfirmasi ini dapat terjadi kepada siapa pun. Ketika membuka sosial media lalu muncul sikap tidak mau tahu dan tidak mau mengalah saat fakta –yang kredibel- sudah terpampang, maka itulah gejalanya. Bisa jadi, ini yang mendasari kisruh di media sosial kita dalam dua tahun terakhir!

Sebanyak apapun masukan dari masyarakat, pemerintah tetap saja abai pada realita. Mereka tetap pada statement awalnya: kegiatan harus dihentikan tanpa berpikir secara integral (pandemi harus diatasi tapi masyarakat tetap bisa makan), serta terus menyalahkan kaum proletar, maka bias konfirmasi telah mendominasi pemerintah.

Sebaliknya, bias konfirmasi pada masyarakat bisa jadi berkelindan di balik postingan-postingan propaganda. Jika keseharian kita dipenuhi kecurigaan bahwa ada bisnis vaksin meski vaksin telah digratiskan, kemudian menduga PPKM ialah fasilitas bagi Chinese yang masuk malam hari. Juga apabila masyarakat terlalu sibuk mencari cara untuk melemahkan program pemerintah, maka bias konfirmasi sudah menyebabkan pesimisme irasional pada masyarakat. Sebab vaksin, Chinese, hingga diskotik, tidak memiliki kaitan secara langsung untuk digeneralisasikan sebagai “kejahatan rezim” atau “diskriminasi Islam”.

Tetapi, setelah melihat-lihat situasi, aksesibilitas kita terhadap arus informasi sudah lumayan baik. Semestinya, masyarakat sudah begitu banyak membaca. Maka, jika perdebatan ini masih terus mengedepankan keangkuhan, mungkin saya sepakat dengan Jose Ortega (1930), tentang “Keangkuhan Intelektual”. Mungkin saja, masyarakat kita merasa tidak lagi perlu membaca karena (merasa) semuanya sudah jelas. Atau jangan-jangan, aktivitas membaca bukan lagi keinginan untuk mengetahui sesuatu dari penulis. Namun untuk menghakimi penulis jika tulisannya tidak sesuai dengan apa yang ia yakini.

Tak ada lain selain berusaha membuka pikiran menurut Tom Nichols. Sebab siapa pun tak selamanya benar meski dia seorang Pakar. Dan “setiap orang yang paham sains pasti tahu, bahwa sains adalah sebuah perjalanan. Hari ini bisa salah, lalu dikoreksi, lalu kemudian hari bisa sebaliknya (benar)”. Artinya, jika kita meyakini bahwa zaman ini memproduksi banyak ‘ketidakjelasan’, mengapa kita sudah merasa ‘paling jelas’? Tom menyarankan di dalam bahwa diskusi, jangan seperti seorang yang terjatuh dari jurang. Seseorang yang akan memegang apa saja untuk selamat meski bergelantungan dan berpijak pada argumen yang rapuh.

Mari renggangkan sedikit genggaman kita pada gawai. Mari sedikit meredam tensi media sosial. Chat dan komentar di media sosial jangan dianggap sebagai “Partai Hidup Mati”, sehingga sanggahan orang lain dianggap sebagai pelecehan terhadap keilmuan kita.


Penyunting : Amilia Buana Dewi Islamy

Ilustrator : Sofyan Adi Nugroho

5 8 votes
Article Rating

Andi Muhaimin Darwis

Komunitas Taman Pustaka

Related Articles

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Check Also
Close
Back to top button