CerpenMatur Sastra

Mantu

-Amiliabdi-

Sehari sebelum pernikahan kakak tertuaku, semua orang terlihat sibuk. Sudah sekitar empat hari ini tamu-tamu yang tidak bisa datang saat hari H menyempatkan diri untuk berkunjung. 

“Wuih, ini masih Sabtu dan tamunya sudah sebanyak ini, jangan-jangan besok Minggu sudah sepi.” celetukku sambil menyeruput es teh. 

“Ya kalau besok sepi, satenya bisa kau habiskan,” kakak laki-lakiku menjawab datar, matanya tidak beranjak dari tugas kuliahnya. 

“Siap bosku,” jawabku sambil tertawa, lantas beranjak keluar rumah, cuci mata, setelah merasa cukup suram melihat setumpuk tugas kuliah kakakku.

Hari beranjak siang, sedingin apapun udara di lereng gunung ini, tetap saja saat-saat seperti ini terasa gerah. Di ujung jalan terlihat rombongan motor memasuki komplek perumahan, kulihat dan kuperhatikan beliau-beliau ini dengan saksama. Yeay! hatiku bersorak, bapak ibu guru SMPku dulu, aku berdiri, berlari kecil untuk menyambut dan menyalami mereka. Satu, dua, tiga guruku masih mengingatku. Alhamdulillah. Tapi tunggu, tunggu dulu, salam-salaman ini tidak selancar yang aku kira.

“Eh Nduk1, selamat ya, calonnya mana?” kata salah satu ibu guruku yang sudah cukup sepuh.

Ngapunten2 Bu, yang menikah kakak saya,” jawabku kelabakan, lantas tertawa canggung, hening.

Semarak meriah rumah kecil kami yang terletak di lereng gunung Ungaran begitu menyenangkan. Bagaimana tidak, ini adalah pernikahan pertama anak-anak bapakku. Saudara-saudaraku sangat antusias. Semua berbondong-bondong hadir meski harus rela bermacet-macet ria, dan berdesak-desak mencari tiket mudik lebaran, lihatlah betapa kerennya silaturahim ini. Malam ini, sekitar 98% persiapan untuk ijab qobul dan resepsi sudah diselesaikan. Wajah-wajah kerabat, tetangga, hingga mas-mas yang mendekor panggung pelaminan sudah kusut, tapi tak ada yang mengeluh, sementara bocah-bocah sudah lelap berjejer tertidur. 

Semua persiapan ini berjalan lancar, tidak nampak kebingunan dan kepanikan kalau kurang ini itu. Mungkin, ibu sudah banyak belajar bagaimana cara “mantu” dari tetangga-tetangga yang sudah menikahkan anak-anaknya. Sejak dulu beliau telah memperhatikan pernikahan-pernikahan itu, mencatat hal-hal penting dengan rapi di pikiran dan menyimpannya untuk bekal menikahkan ke-empat anaknya kelak. 

Malam semakin larut, dekor telah selesai tapi dapur masih mengepulkan asap. Aku bertanya pada Ibu kenapa masih memasak padahal besok sudah ada catering.

“Ini buat sarapanmu, bapakmu, bulik, budhe, semua yang ada di sini. Apa kamu mau besok saat prosesi ijab qobul kakakmu, perutmu malah berbunyi?” jawab ibu, sementara aku cengar-cengir mengiyakan.

 Tengah malam tak terasa telah datang. Aku masuk ke kamar bapak. Di sana kulihat bapak berbaring kelelahan. Ah, bapakku ini tidak bisa berbohong bahwa usianya sudah melewati kepala lima dan besok baru anaknya yang pertama yang akan beliau nikahkan. Kudekati beliau, duduk di pinggiran dipan dan mulai memijit-mijit kaki beliau. 

“Enak tenan, nduk. Eh bapak minta tolong di carikan contoh kalimat ijab ya, nduk.” kata Bapak. Aku tersenyum, kuraih handphone milik bapak. Sambil menunggu beliau melanjutkan bicaranya.

“Bapak nggak pengen besok tiba-tiba lupa,” ujarnya setengah tertawa. 

Kubuka pencarian dan mengetikkan sesuatu di layar. Sedetik, dua detik pencarian selesai, kupilih website paling atas lantas kuserahkan ke bapak. Perlahan bapak membaca kalimat itu, diselipkannya nama kakak tertuaku dan calon kakak iparku. Aku hanya sekelebat mendengar, tapi hati ini bergetar, sungguh. Kalimat yang begitu indah, menakjubkan. Kalimat sakral itu diulang lagi oleh bapak. Beliau cukup kesulitan mengucapkan nama calon kakak iparku itu.

“Saya nikahkan engkau Muhammad Samsul Mizwar eh Nizwar, eh salah lagi,” bapak tertawa, aku yang mulai fokus mendengar latihan bapak juga tertawa. Tapi malam itu, tawa bapak bukan tawa seperti yang biasa kudengar. 

“Ulangi Pak, tinggal besok loh,” kataku menggoda, bapak tertawa lagi. 

Percobaan ketiga, kali ini bapak sambil praktik menyalami calon pengantin saat ijab qobul, tentu saja pengganti tangan calon kakak iparku adalah tanganku. Berhasil, lancar tanpa putus. Kurasakan tangan bapakku yang mulai terlihat keriput itu bergetar saat beliau mengucapkan kalimat ijab. Kulirik wajah bapakku, matanya berbinar, di ujungnya menggenang air mata yang malu-malu keluar. 

lanjut ke halaman berikutnya

5 1 vote
Article Rating

1 2 3Next page

Related Articles

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Check Also
Close
Back to top button