Perempuan dan Muhasabah Kalbu

Perempuan sering diidentikkan dengan sikap yang anggun dan lemah lembut. Manusia beranggapan bahwa perempuan makhluk yang sangat peka karena menanggapi segala hal dengan perasaan. Selain kelemahlembutan, wanita juga banyak dibincangkan karena beberapa hal misalnya jumlah kata yang diucapkan perempuan lebih banyak dari laki-laki. Selain itu, kebanyakan perempuan memperlakukan atau menanggapi sesuatu dengan mengedepankan perasaan, senang diperhatikan, dan memperindah dirinya. Tak terkecuali stigma negatif yang sering ditemukan dalam masyarakat, misalnya kalimat “perempuan hobinya bergosip saja!” atau “perempuan bikin susah selalu rempong” dan “perempuan berisik”. Pelabelan pada perempuan inilah yang saya dapat mengambil kesimpulan kalau pembahasan tentang perempuan itu sangat banyak. Sungguh betapa istimewanya para perempuan itu.
Zaman sekarang perempuan bukan hanya duduk diam dalam rumah tetapi juga turut mengambil andil dalam kemajuan sebuah zaman. Bukan hal yang salah ketika perempuan melakukan itu semua. Toh juga perempuan adalah madrasah pertama bagi anaknya. Merekalah yang menentukan bagaimana kualitas penerus suatu bangsa. Jadi ada beberapa hal yang harus diperhatikan karena perempuan kadang bermasalah dengan labirin perasaannya sendiri. Maka wajib bila perempuan mempelajari dan menanamkan managemen kalbu dalam dirinya.
Menjadi madrasah pertama untuk anaknya harus dimulai dari diri sendiri karena perubahan tidak datang jika tidak diciptakan oleh individu itu sendiri. Mulai dengan menanamkan ilmu dalam diri diikuti dengan niat yang bersih, tulus dan tekad yang menggelora. Kemudian mengoreksi diri sendiri dengan cara mempelajari perilaku diri sendiri ataupun bertanya kepada orang terdekat kita. Jangan pernah malu dan takut untuk melakukannya karena orang akan kagum ketika kita berani untuk bersikap.
Seperti kisah seorang ibu yang rajin menghadiri majelis taklim dia sedang berbincang-bincang dengan sesamanya, “Bu Yati, kasihan sekaliyah Hajjah Fulanah, tetangga kita. Padahal dia sudah haji, rajin ke masjid dan bacaan Qur’annya juga sudah bagus tetapi kerjanya selalu saja membicarakan kejelekan orang lain, padahal menceritakan orang lain adalah perbuatan yang buruk. Apa artinya pakai jilbab kalau kelakuannya buruk begitu yah bu?”. Paradigma masyarakat yang seperti ini yang harus dihindari karena Akhlaq dan jilbab adalah hal yang berbeda. Makanya dituntut untuk setiap manusia membekali diri dengan ilmu serta didukung dengan program perbaikan diri dan memulai berhenti berbicara tentang keburukan orang lain.
Simak dalam Al-Qur’an, surah Al Hujurat ayat 11-12,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan jangan lah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima tobat lagi maha penyayang.”
Dari ayat tersebut, kita dapat memahami bahwa sebisa mungkin kita berusaha menghindari untuk menceritakan keburukan orang lain karena belum tentu juga kita lebih baik dari mereka. Fokus terhadap perbaikan diri sendiri lebih baik dibandingkan sibuk terhadap keburukan orang lain.
Selain itu, belajar mengakui jasa, kebaikan, dan prestasi orang lain juga adalah hal yang penting untuk dilakukan. Kita diharapkan mampu mempunyai keberanian untuk jujur dan adil dalam menilai orang lain. Ada sebuah peribahasa yang mengatakan bahwa “karena nila setitik rusak susu sebelanga” yang artinya kesalahan kecil menghilangkan semua kebaikan yang telah diperbuat. Anggapan itu harus hilang dari kamus kehidupan kita peribahasa ini. Kita harus selalu belajar untuk mengapresiasi orang yang benar-benar telah berbuat baik kepada kita. InsyaAllah, tentunya akan ada kepuasan tersendiri jika kita berhasil mengapresiasi kebaikan orang lain yang bisa mendorong kita untuk bersikap positif terutama sikap balas budi.
Kemudian maafkan dan lupakanlah kesalahan orang lain. Ayo kita berlatih untuk selalu dapat berlapang dada terutama menyikapi perilaku saudara seiman kita. Mari kita membiasakan diri untuk menyederhanakan masalah, menghemat pikiran dan energi. Jangan sampai kita membiasakan diri untuk melebih-lebihkan atau mendramatisasi rasa sakit hati. Menganggap kejadian yang tidak membuat kita sakit hati itu sebagai ladang amal kesabaran dan kenaikan tingkat kemuliaan di sisi Allah dan juga di antara hamba-hamba-Nya adalah sikap yang mencerminkan kedewasaan serta kerendahhatian yang akan membawa kita kepada kenyamanan dan ketenangan hati.
Belajarlah untuk memaafkan saudara sendiri dan segera untuk melupakan kesalahannya, bagaikan menutup sebuah buku dan membuka halaman baru yang bersih. Menyibukkan diri dengan memikirkan hal lain yang lebih bermanfaat lebih baik daripada kita harus dendam kepada saudara seiman. Selain akan rugi waktu, tenaga, dan pikiran, kita juga pasti akan merusak ukhuwah. Peluang untuk bersatu sangat minim ketika hati seseorang dipenuhi dengan rasa benci dan dendam.
Teringat juga salah satu sikap dari Rasulullah yang selalu menjaga silaturahim. Jika kita mengetahui kedahsyatan dari silaturahim maka sepanjang waktu kita pasti ingin selalu bersilaturahim. Silaturahim yang baik akan menambah dan mempererat tali persaudaraan, menambah wawasan, dan memperkokoh ukhuwah.
Silaturahim dapat dilakukan dengan hal yang sederhana seperti bertegur sapa, mengucap salam, bersalaman dengan ramah dan tulus, berbelanja kepada sesama umat muslim maupun menghargai perbedaan.
Perbedaan adalah kekuatan. Mahasuci Allah yang menciptakan perbedaan sebagai sarana untuk membuat sesuatu menjadi lebih indah, kokoh, dan bermanfaat. Oleh karena itu, kita harus memiliki kemampuan untuk memanfaatkan perbedaan tersebut dengan tepat. Jangan sampai perbedaan itu menjadi jalan permusuhan dan kehancuran. Na’udzubillaahi min dzalik!
Menghargai perbedaan itu amat penting karena salah satu masalah besar yang terjadi dalam diri umat Islam adalah belum adanya kebiasaan untuk menyikapi perbedaan pandangan dan pendapat. Kita tidak berhak memaksakan seseorang untuk sependapat dengan kita. Belajar untuk mulai menikmati perbedaan pendapat sebagai bagian dari karunia Allah. Kita dapat memanfaatkan perbedaan yang ada untuk saling mengasah, melengkapi dan saling menyempurnakan. Bahkan, kita harus mengembangkan budaya perbedaan pendapat sebagai salah satu sarana sinergi, penggalian ide dan gagasan.
Keberagaman harusnya membuat kita kokoh dan kuat. Maka dari itu, sebaiknya dengan sesama umat Islam kita harus lebih mendahulukan untuk mencari titik persamaan sebelum mempertentangkan perbedaan. Sikap sadar posisi dan tidak saling menonjolkan. Perbedaan harusnya menjadi sarana untuk saling menguatkan.
Sebagaimana surah dalam Al-Qur’an yang berbunyi :
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
Q.S Al-Hujuraat [49] : 10
Menikmati untuk bisa merasakan hidup bersama dan berinteraksi dengan orang lain memang indah, terutama kita sebagai seorang perempuan. Menjadi perempuan yang istimewa dengan cara senantiasa bersyukur, instrospeksi diri, dan mengevaluasi diri akan menenangkan dan menentramkan hati.
Kunci yang paling utama untuk seorang perempuan sebagai bekal utama menjadi madrasah pertama bagi anaknya adalah ibda binafsik, yakni mulailah dari diri sendiri. Ingatkan selalu tiga konsep perubahan yaitu mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal yang kecil, dan mulailah saat ini juga. Jangan menunda-nunda lagi.
Walaupun kini negara kita sudah merdeka tetapi kita masih sering terpuruk dalam ujian yang seakan tiada akhirnya. Oleh karena itu, perempuan sebagai bagian dari masyarakat perlu untuk memaksimalkan hidup dalam kedamaian dan hidup merdeka. Tidak disiksa oleh banyaknya keinginan, bebas dari perbudakan nafsu, berperilaku jujur, tawadhu, ikhlas, dan tawakkal.
Lalu pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, bagaimana caranya agar ruh ukhuwah tetap kokoh? Rahasianya terletak pada sejauh mana kita mampu bersungguh-sungguh menata kesadaran untuk memiliki kalbu (hati) yang bening, bersih, dan selamat.
Akhir kata, semoga kita senantiasa menjadi perempuan-perempuan yang hebat dan mendamaikan, beruntung, serta dirindukan oleh surga. Aamiin.
Editor : Amilia Buana Dewi Islamy
Ilustrator : Sofyan Adi Nugroho