Sejatinya Cinta

Sejatinya cinta, ia datang dari sebuah kejujuran. Cinta yang muncul dari keterbukaan dan sifat saling percaya serta saling melengkapi. Ia bukan sesuatu yang justru menutupi. Ia bukan sesuatu yang memaksa akan kepura-puraan. Ia datang dengan apa adanya. Memberi dan menerima.
Sejatinya cinta, ia adalah sesuatu yang amat luas. Cinta adalah hak dari semua orang: tua dan muda; lelaki dan perempuan; kaya dan miskin. Ia tidak membutuhkan harkat. Namun dengan cinta orang-orang membangun martabat. Ia bukan sesuatu yang terbatas dari lelaki ke perempuan semata, tapi cinta bagai air yang memenuhi seluruh wadah.
Sejatinya cinta, ia adalah tanggung jawab. Ia bukan hanya sesuatu yang mesti ditampung melainkan sesuatu yang harus dipikul. Sesuatu yang harus dibawa ke mana pun jua. Sesuatu yang mesti dipelihara, dijaga, diberi asupan gizi, diperlakukan dengan baik.
Sejatinya cinta, ia adalah sesuatu yang tidak berbatas. Ia justru semakin banyak saat ditebar. Ia bukan sesuatu yang kecil sehingga hanya bisa dibagikan dalam satu hari saja. Ia bukan sesuatu yang enteng sehingga bisa diungkapkan dengan kata-kata belaka.
Sejatinya cinta, ia adalah anugerah. Anugerah Allah yang paling indah. Cinta menggerakkan kita semua. Kita berdiri, kita berlari, kita tersenyum bahkan menangis, semua karena cinta. Karena ia adalah anugerah, maka ia perlu disyukuri. Ia perlu dijaga sehingga tidak rusak kemurniannya.
Sejatinya cinta, ah rasanya cukuplah, bahasan tentang cinta memang tidak pernah ada habisnya. Kemarin, hari ini dan sampai kapan pun kita tidak akan terlepas dari sebentuk perasaan ini. Jangan tanya mengapa, sebab jawabnya amat sangat sederhana: Karena cinta adalah ruh dari sebuah hubungan, cinta adalah energi dari kehidupan. Nyatanya kita hidup karena cinta: cinta Allah dan cinta orang-orang di sekitar kita. Kita tumbuh dan berkembang karena cinta pula. Dengan kata lain, cinta mempunyai peranan yang amat penting dalam kehidupan seorang insan.
Cintalah yang menggerakkan hati Ibrahim muda untuk menghancurkan berhala-berhala yang dibuat oleh ayahnya sendiri. Ia menjadi energi yang mendorong Ibrahim, sang kekasih Allah, untuk mencari tahu dari mana sebenarnya cinta itu berasal, tentang siapa sebenarnya yang memiliki hak paten untuk cinta itu sendiri.
Cintalah yang menjadi alasan Abu Bakar untuk membenarkan semua perkataan Muhammad, yang membuat beliau masuk ke dalam orang-orang pertama yang menyertai Islam.
Cinta yang sama bagi Ali bin Abi Thalib yang membuat ia tidak takut sama sekali saat menggantikan Rasululullah di tempat tidur tatkala hijrah. Cinta hebat yang “gila”, melatarbelakangi “kegilaan” Umar bin Khattab mendatangi kabah sendirian dan menantang kaum kafir Quraisy tanpa getir takut sedikit pun. Pula tentang Usman yang rela menghabiskan harta kekayaannya demi kemajuan Islam. Juga sahabat-sahabat Rasulullah yang lain, para tabi’in dan orang-orang Islam setelahnya. Masyaa Allah.
Tatkala cinta sudah dimaknai dengan benar, ia bahkan tidak memerlukan syarat. Mencintai adalah tentang memberi lebih dahulu ketimbang menerima. Mencintai dengan benar akan mengundang rasa percaya yang besar.
Rasa percaya Ismail terhadap sang ayah yang berkata bahwa ia bermimpi mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih anaknya sendiri! Ismail hanya berkata, “jika itu memang dari Allah, maka lakukanlah wahai ayah“. Rasa percaya yang sama saat sang ayah berulang kali meminta Ismail mengganti palang pintunya (isterinya) karena didasari cinta yang nyata, cinta mereka kepada Tuhannya.
Jika menurutmu cerita-cerita tentang cinta yang hebat di atas adalah wajar, toh mereka ‘kan orang-orang pilihan. Maka bacalah olehmu kisah-kisah orang hebat lainnya mengenai mereka dan cintanya. Umar bin Abdul Aziz hingga penyair kondang seperti Muhammad Iqbal.
Satu hal yang bisa kita tarik dari semua kisah cinta di atas adalah sama: mereka meletakkan cinta kepada Tuhan mereka di atas cinta mereka kepada dunia. Jika kita telah bisa meraih itu, maka nikmatnya mencintai akan terasa tidak cuma di relung hati namun ia akan mengalir ke setiap nadi, menjalar ke semua sendi, memenuhi seluruh diri.
Maka, sebagai penghujung tulisan ini, Sahabat. Perlakukanlah cinta yang kamu punya dengan benar. Jaga ia dari nila-nila yang merusak kemurniannya. Jaga ia dari apa-apa yang hendak merugikannya. Jauhkan ia dari budaya-budaya yang tidak sesuai dengan jati dirinya.
Tidak ada cinta yang lebih baik dari cinta yang bermuara pada Allah yang menjadi penciptanya. Jika pun kita mencintai manusia, cintailah karena Allah. Jika pun kita mencintai harta benda, cintai pulalah karena Allah. Segala cinta datang dari Allah dan Dia berhak kapanpun dan di manapun menuntut akan cinta-Nya itu. Cintailah Allah maka Dia akan mencintaimu.
Alangkah luar biasanya nanti bila kita saling mencintai dalam ridho Illahi. Akan kita dapati bahagia yang tumpah ruah, jika ia menuntut tangis, bukan yang menyakiti tapi mengobati. Ia akan mendatangkan perhatian pula pengertian.
Yang menjadi alasan mengapa Muhammad SAW dan Aisyah ra. tertidur di balik pintu karena sama-sama menunggu. Pula tentang Nailah yang mencintai Usman bin Affan ra di hari tua apa adanya, bahkan rela merusak kecantikan dirinya karena cintanya kepada Usman setelah Allah memanggil sang suami tercinta. Masyaa Allah.
Salah satu bentuk cinta adalah berbagi. Jika kamu terinspirasi, bagikan juga tulisan ini agar lebih bermanfaat. Agar kita semua tidak salah kaprah dalam mencintai. Agar cinta kita semua adalah cinta yang diredhoi. Salam hangat Sahabat, semoga cinta-Nya Allah selalu menyertai kita semua. Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin.
Editor : Amilia Buana Dewi Islamy
Ilustrator : M. Aidrus Asya’bani