Wahyu, Ulama Organik, dan Pembebasan Islam

Siapapun itu, ia akan menemui kesepian pada akhir hidupnya. Bagaimana pun ia berusaha menghindar beralatkan logika, akal (katanya), atau pun perangkat lainnya, cepat atau lambat ia akan bertemu kesunyian. Tak ada yang menjamin umur kita akan sampai pada angka ke-berapa. Itulah alasan utama untuk menghentikan arogansi ilmu modern saat ini. Tanpa berpijak pada nilai-nilai wahyu yang luhur, tak ada tempat lain selain kubangan penindasan dan kesengsaraan.
Di sana, di kubangan itu, memang banyak yang memakai jubah, berselendang sajadah, dan ditangannya selalu ada tasbih. Mulutnya komat-kamit membaca ayat-ayat suci. Tetapi, semua hanya lewat bak angin menerpa daun-daun kering. Lenyap. Hilang.
Di sana, di kubangan itu juga, banyak terlihat orang-orang berdasi, jas-jas rapi, sepatu mengkilat disertai kopiah gagah di kepala. Di tangannya ada banyak ijazah, mulai dari sarjana sampai profesor. Mulutnya penuh kata-kata mutiara nan akademis yang orang-orang seperti kami tak paham maksudnya. Tetapi itu semua hanya kulit. Dagingnya busuk, ada banyak harta rampasan menggumpal di sana yang jelas-jelas itu bukan miliknya.
Nilai-nilai kewahyuan tak bisa dilepaskan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Perlu adanya penyadaran akan kesatuan konsep nilai keduanya melalui mimbar-mimbar formal maupun nonformal. Perlu adanya ulama-ulama organik yang berpihak pada rakyat kecil, zhahiran wa bathinan. Penguasaan ilmu syariat dan fikih tak menjamin kedudukan seorang ulama bisa mencapai tingkat “kaffah“: menyeluruh dalam artian paripurna sebagai manusia seutuhnya.
Momentum khotbah Jumat sangat tepat jika dipakai untuk menyadarkan umat melalui narasi-narasi pembebasan. Materi-materi khotbah yang memang pada dasarnya adalah momentum refleksi umat dalam seminggu, mempunyai peran strategis dalam menempati penanaman penyadaran umat akan teror-teror negara terhadap rakyatnya sendiri. Tetapi, oleh pemerintah, itu dianggap kerja politik. Politik pasti busuk. Tak sepantasnya agama dipakai untuk kerja-kerja politik yang sempit makna kemanusiaan. Ada benarnya, mengingat ada banyak ulama elitis yang memanfaatkan momentum tersebut untuk meraup suara. Toh, ada juga ulama yang ikut mengkokohkan kekuasaan. Dan itu sudah terjadi sejak dahulu. Ulama Umara‘, ulamanya sang penguasa. Maka dari itu, umat islam perlu menafsirkan ulang peran ulama.
Ulama Organik
Ulama organik adalah ulama yang melek sekitar. Ia ikut merasakan keresahan jika tindakan negara begitu semena-mena kepada rakyatnya sendiri. Ia berani melawan arus kekuasaan maupun orang yang mau (tapi kalah pemilu) berkuasa. Ia tak setuju terhadap kekuasaan bukan karena ingin menciptakan kekuasaan baru atau penindasan baru. Namun murni sebagai perintah suci dari Allah. Di Alquran sendiri, dikisahkan secara romantik dan dramatis bagaimana Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Musa a.s melawan dominasi para tiran yang senantiasa menindas rakyat. Sebagai ‘imbalan’, Ibrahim dibakar hidup-hidup oleh Namrud kemudian diselamatkan Allah. Sementara Musa dikejar-kejar bala tentara Fir’aun hingga ke ujung lautan dan diselamatkan pula oleh Allah. Begitulah cara Al-qur’an menegaskan keberpihakannya pada orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran.
Ulama organik tentu mempunyai pengetahuan yang menyeluruh mengenai wahyu, serta menguasai konsep-konsep teologi dan pembebasan dalam Alquran. Tak lupa, ia lahir dari rahim rakyat dan akan terus bersama rakyat. Sosok ulama organik mengingatkan kita pada kisah Imam Ahmad bin Hambal, yang dicambuk tangannya hingga tak bisa digerakkan. Saat itu, aliran Muktazilah menguasai kekhilafaan Abbasiyah. Ajaran Muktazilah dipaksakan untuk diyakini dan dianut, tapi tidak untuk Imam Ahmad.
Kita juga tak lupa pada sosok K.H. Ahmad Dahlan yang berani melawan kekolotan berpikir umat islam. Ketika itu, umat islam diselimuti penyakit TBC (takhayul, bidah, dan curafat), yang berakibat pada bobroknya kehidupan sosial masyarakat lingkungan keraton Yogya. Mereka menolak hal-hal yang bersifat maju dan modern. Bangku sekolah hingga arah kiblat dianggap sebagai penentangan terhadap Agama. Tapi terbukti, nama K.H. Ahmad Dahlan tak lekang ditelan zaman. Muhammadiyah menempati posisi penting dalam membawa kemajuan bagi Indonesia.
Nabi Muhammad saw. adalah nabinya kaum papa. Ia tak segan hidup bersama rakyat, walaupun namanya telah begitu tersohor ke seluruh dunia. Ia menjunjung tinggi nilai ketauhidan sekaligus memperkokoh nilai-nilai kemanusiaan. Tak heran, jika pengikut awal beliau adalah kaum-kaum yang termarjinalkan saat itu. Maka dari itu, sudah sangat jelas bahwa islam yang kafah adalah islam yang berpihak pada keadilan.
Editor : Amilia Buana Dewi Islamy
Ilustrator : M Aidrus A