EsaiMatur OpiniTausiyah

Implementasi Sabar dalam Bergunjing (Ghibah): Perspektif Qur’an dan Hadits

Sabar merupakan penerang hati manusia, jalan hidup dan amalnya. Setiap kali seorang hamba berjalan di atas jalan kesabaran untuk menuju keridhaan Allah SWT, maka Dia akan menambah baginya hidayah dan penerang di hari dan pandangannya, sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan oleh hamba-Nya.

Untuk membantu manusia dalam menghadapi dirinya yang sedang menghadapi berbagai masalah, Allah memerintahkan manusia untuk melakukan shalat, di samping harus bersabar. Dengan shalat manusia tidak akan merasa sendirian dalam menghadapi kesulitan. Walaupun ia tidak melihat Allah SWT, namun ia sadar bahwa Allah SWT senantiasa bersamanya dan selalu menjadi penolongnya.

Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 153, Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Artinya:

(Hai orang-orang yang beriman! Mintalah pertolongan) untuk mencapai kebahagiaan akhirat (dengan jalan bersabar) taat melakukan ibadah dan sabar menghadapi cobaan (dan mengerjakan salat) dikhususkan menyebutkannya disebabkan berat dan berulang-ulang (sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar) artinya selalu melimpahkan pertolongan-Nya kepada mereka.” (Tafsir lengkap departemen agama)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa sabar itu sangat peting, bahkan kedudukannya sama dengan sholat. Rasulullah SAW menyebut shalat sebagai cahaya, dan sabar sebagai pelita. Dua entitas yang memiliki manfaat yang serupa.

Adapun perbedaan antara cahaya pada shalat dan pelita pada sabar adalah bahwa pelita (ad-dhiya’) disertai dengan hawa panas, sedangkan cahaya (annur) pada shalat adalah cahaya dingin. 

Hal ini mengimplikasikan bahwa kesabaran akan disertai dengan rasa lelah fisik ataupun batin. Rasa lelah ini adalah hal yang tak dapat di hindarkan. Tetapi barang siapa yang dapat menahan lelah tersebut, maka ia akan senantiasa ditemani oleh pelita kehidupan, menuju jalan yang dituju walaupun ditengah kegelapan. Terlebih, pelita kehidupan ini senantiasa menjadi salah satu sumber pahala orang mukmin yang sabar. 

Baca Juga  Urgensi Mujahadah Dalam Beramal Untuk Mendekatkan Diri Kepada Allah SWT

Sebagaimana Hadits yang terdapat di dalam Kitab Riyadus Sholihin, yaitu: “Abu Hurairah ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang kuat bukanlah orang yang menang dalam bergulat. Akan tetapi, orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (Muttafaq ‘Alaih)

Nabi Muhammad SAW dalam hadits ini menjelaskan bahwa mampu mengendalikan amarah, merupakan kemenangan nyata sikap sabar seseorang. Sabar menghadapi amarah, merupakan salah satu bentuk dari sabar terhadap kedurhakaan kepada Allah, dengan tidak melakukan kemaksiatan saat seorang hamba tersebut sebenarnya mampu untuk berbuat maksiat. 

Adapun salah satu bentuk kemaksiatan yang sering dilakukan oleh manusia saat ini dan bahkan dilakukannya tanpa sadar yaitu gemar membicarakan kejelekan orang lain atau akrab disebut dengan ghibah. Ketika seseorang memiliki masalah kepada orang lain, ia cenderung ingin orang tersebut (terutama yang dianggap musuh) dipadang jelek orang orang-orang sekitar. Baik langsung menceritakannya secara langsung (face to face) atau membicarakannya lewat tulisan di sosial media. Ia selalu ingin menceritakan semua keburukan-keburukannya kepada orang lain agar orang lain menjauhi orang tersebut.

Padahal ghibah itu sendiri dapat melukai hati seseorang, menimbulkan permusuhan, mengacaukan hubungan kemasyarakatan, dan memunculkan rasa saling curiga. Berbagai potensi dampak ini kemudian mendorong Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa terkait gosip atau ghibah di media sosial.[1]

Yusuf Al Qardhawi mendefinisikan makna ghibah sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al Halal yaitu:

Ghibah adalah suatu keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak ada di hadapannya”.[2]

Maka benar, bahwa kekuatan tidak diukur dengan kepandaian seseorang dalam perkelahian. Orang yang kuat sebenarnya adalah yang mampu mengendalikan dirinya disaat marah. Karena pada saat marah biasanya manusia tidak dapat mengontrol emosinya sehingga bisa menyesal di kemudian hari. Berdasarkan hal ini, agama mengajarkan bila seseorang marah, maka untuk menahan diri, bersabar, berlindung pada Allah dari setan terkutuk adalah dengan berwudhu. Karena wudhu dapat memadamkan kemarahan, sebab kemarahan ibarat api yang harus dipadamkan sebelum menjalar (Zulfa, 2019:67-68).

Baca Juga  Perempuan Tegas Berdaya, Stop Kekerasan Seksual

Al-Quran juga memerintahkan agar seseorang dapat mengendalikan emosi pada saat marah. Sebab pada saat seorang sedang marah, maka pemikirannya tidak berfungsi dan ia kehilangan kemampuan untuk mengambil keputusan yang benar (Najati, 2003:83).

Dalam hadits lain, Imam An-Nawawi menyebutkan kesabaran yang diganjar besar oleh Allah adalah kesabaran saat menghadapi kesedihan dan kehilangan sesuatu yang dianggap berharga baginya.


Daftar Pustaka

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. 2003. Madarijus Salikin, Pendakian Menuju Allah:

Penjabaran Konkrit: Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in. Terjemahan oleh Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

An-Nawawi, Imam. 2018. Riyadhus Shalihin. Terjemah oleh Izzudin Karimi. Jakarta: Darul Haq.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017, Komisi  Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 1-20.

Yusuf Al Qardhawi, Al Halal Wa al Haram Fi al Islam (Kairo: Maktabah Wahbah, 1993), hal.305


Editor : Nagita Histimuna Aisyah

Ilustrator : Sofyan Adi Nugroho

0 0 votes
Article Rating

Related Articles

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Back to top button