Konsep Moderasi Beragama, Apakah Benar - Benar Diperlukan Untuk Muslim?


Menjadi manusia merupakan peran terpenting dalam jagat raya ini. Manusia terlahir suci sampai lingkungan lah yang membawanya memiliki corak. Berbagai corak telah ada memenuhi bumi ini. Keberagaman membawa kita mengenal satu sama lain, memahami kebudayaan masing-masing. Justru disana terletak keindahannya. Manusia memiliki kendali atas jagat raya ini, baik mengelola atau merusak, baik menjaga atau melestarikannya itu hak manusia. Seiring kemajuan peradaban dinamika politik, sosial, budaya dan agama mempengaruhi wajah keberagaman kita.
Menyoalkan moderasi beragama adalah pembahasan menarik jika hal ini dapat membawa kita memiliki wawasan yang luas. Dikutip dalam berbagai media bahwa aksi terorisme-radikalisme-intoleransi merujuk pada satu komuniti yang memang sangat ekslusif, forum yang sangat tertutup ini telah memberi kan luka mendalam bagi masyarakat Indonesia yang sudah menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika.
Dilansir dari kompas.com yang dimuat pada 30/03/2021 bahwa Sebanyak 552 aksi teror terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 21 tahun. Data tersebut merupakan temuan terbaru dari Tim Analis LAB 45 yang dirilis pada Senin (29/3/2021). “Tercatat 552 aksi teror di Indonesia dari tahun 2000-2021,” kata Analis Utama Politik Keamanan LAB 45, Andi Widjajanto, kepada Kompas.com, Selasa (30/2/2021).
Kita sadar sepenuhnya bahwa ada dari mereka yang beragama islam. Hal ini pula lah yang mendorong penulis untuk membawa sebuah solusi dari kegaduhan masyarakat atas saling tumpang-tindihnya persoalan ini. Bibit radikalisme adalah intoleransi, intoleransi yang ekstrim dan ekslusif. Ummat islam menyadari bahwa kegagalan merangkul ukhuwah saudara se-agama dalam memahami teks ayat suci yang meluas dan komprehensif telah terjadi. Meski demikian, ummat islam tak bertanggung jawab atas pemikiran-pemikiran radikal mereka. Kami berbela sungkawa atas jatuhnya korban, lagi-lagi kita tak bisa memungkiri bahwa teroris tersebut membawa agama kami ke tengah-tengah kalian.
Baiklah, berlarut dalam persoalan tidak akan ada habisnya. Tugas kita adalah menjaga kembali yang sudah ada, merawat keberagaman dan memunculkan cinta kasih yang perlu ditanamkan. Namun sayangnya, banyak oknum tertentu yang memanfaat situasi kondisi gaduh ini. Dengan membawa konsep dan gagasan yang membuat masyarakat semakin berkonflik antar agama.
Moderasi beragama salah satunya, moderasi beragama ini dimunculkan pertama kali oleh Menteri Agama saat itu untuk menjawab solusi dari radikalisme. Hal ini muncul pertanyaan dalam benak penulis. Benarkah konsep tersebut cocok untuk melawan arus radikalisme?
Sebelum terlalu jauh mari kita pahami pengertian dari moderasi beragama. Kata Moderasi berasal dari bahasa latin Moderatio , yang berati kesedangan (tidak lebih, tidak kurang) dan menurut KBBI yakni pengurangan kekerasan/penghindaran keesktreman.
Moderasi beragama pada hakikatnya bagus, dan jika kita mau memahami lebih jauh islam telah lama menerapkannya dengan istilah Washaton (pertengahan) hal ini pula lah yang membawa penulis beranggapan bahwa konsep moderasi beragama sebanarnya tidak diperlukan untuk ummat islam. Mengapa? Apakah penulis menolak Moderasi agama yang digagas Menteri Agama? Jawabannya ialah tidak.
“Definisi ‘moderasi beragama’ yang digariskan dalam buku Kemenag tersebut: “Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama yang ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap sesat penafsir selainnya. Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif. Di sisi lain, ada juga umat beragama yang esktrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi toleransi yang tidak pada tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa disebut ekstrem liberal. Keduanya perlu dimoderasi.” (hlm. 7).“
hal ini dimunculkan saat gaduhnya tuduhan mengenai agama islam yang dianggap sebagai dalang lahirnya para teroris. Anggapan yang keliru ini sangat membawa penyakit dan konflik sosial. Antara masing-masing kelompok mengklaim kelompoknya lah yang paling benar. Memunculkan banyak stigma dan pandangan miring mengenai muslim di seluruh dunia, bahkan kita mengenal istilah Islamophobia bagi mereka yang membenci Islam secara terang-terangan.
Dikutip dalam artikel https://www.adianhusaini.id/ yang dipublish pada 13 september 2020 Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin menerangkan bahwa moderasi beragama bukanlah ideologi. Moderasi agama adalah sebuah cara pandang terkait proses memahami dan mengamalkan ajaran agama agar dalam melaksanakannya selalu dalam jalur yang moderat. Moderat di sini dalam arti tidak berlebih-lebihan atau ekstrem.
Terus terang penulis tidak memposisikan diri sebagai ahli dalam teori moderasi beragama yang digagas sedemikian rupa, tentunya dengan penelitian dan observasi mendalam. Penulis menganggap Islam telah sempurna sebagai konsep. Muslim dan muslimah yang mempelajari Islam secara benar-benar maka dalam hatinya takkan terbesit untuk melakukan hal keji maupun mungkar (tindakan buruk baik yang menimpa dirinya maupun orang lain).
Islam telah sempurna mengajarkan konsep Tasamuh (toleransi), Muslim sesungguhnya takkan mengambil tindakan yang hanya bersifat doktrin sesat, atau menjadi agresif hanya pada satu ayat saja. Seperti tentang memerangi orang yang tak se-Islam, atau tafsir ayat jihad yang dibubuhi doktrin kebencian. Hal ini tidak akan terjadi jika ummat islam benar-benar memahami islam secara keseluruhan. Sebab Islam tidak hanya tentang Jihad dalam bentuk perang militer. Bukan pula tentang peledakan maupun ancaman teror. Itu bukanlah wajah islam.
Konsep moderasi beragama yang kini ditawarkan, sebetulnya tidak begitu perlu. Karena ummat islam sudah paham mengenai bagaimana menyikapi caranya menjadi muslim yang benar benar ber-islam, islam yang memeberi rahmat untuk seluruh alam, seluruh manusia, seluruh ciptaan-Nya.
Editor : Marham Sari Zainuddin
Ilustrator : M. Aidrus Asyabani