Perempuan Tegas Berdaya, Stop Kekerasan Seksual
Kasus kekerasan seksual semakin hari semakin ramai diberitakan oleh media. Bak gunung es, satu per satu korban atau penyintas mulai berani muncul untuk mengungkap tindak asusila yang telah menimpa mereka, baik dalam lingkup keluarga, lingkungan kerja, maupun lembaga dan institusi pendidikan. Padahal dengan adanya isu kesetaraan gender yang sudah dipropagandakan sejak lama, perempuan seharusnya memiliki payung pelindung untuk mendapatkan keamanan di ranah holistik maupun publik. Perempuan bukan kaum inferior yang mana haknya tidak boleh dirampas dan harga dirinya juga tidak bisa diinjak-injak. Sejatinya perempuan merupakan makhluk yang diciptakan untuk menyeimbangkan semesta dan memiliki kedudukan sama di mata Tuhan serta dalam berbagai aspek kehidupan.
Kita semua tahu, kekerasan seksual sendiri memiliki efek domino bagi kehidupan seseorang. Hal tersebut tentu menciptakan kerugian baik secara fisik, psikis, maupun sosial terutama bagi perempuan. Di antaranya seperti luka fisik, depresi, merasa menjadi manusia kotor dan hina, kinerja kerja ataupun prestasi akademik yang menurun, serta hilangnya citra baik korban di masyarakat. Hal tersebut kemudian memengaruhi kepercayaan diri mereka dalam bersosialisasi.
Namun mirisnya, di antara kita masih banyak yang tidak paham mengenai bagaimana definisi serta apa bentuk dari tindak kekerasan seksual. Tindakan itu tidak hanya dilakukan melalui kekerasan fisik saja, tapi juga verbal. Menurut Komnas Perempuan (2015:3), tindak kekerasan atau pelecehan seksual secara verbal dilakukan melalui siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
Budaya dalam masyarakat patriarki melahirkan pola pikir dan cara pandang primitif sehingga perempuan yang berada di dalamnya memilih bungkam serta menganggap bila kekerasan seksual tersebut adalah konsekuensi mereka sebagai ‘kaum kelas dua’. Hal ini kemudian menjadikan laki-laki semakin menganggap dirinya superior, memiliki kebebasan untuk terus menjalankan aksi tercela, peyoratif, bahkan misogini dengan didukung oleh kekuatan relasi kekuasaan dan sebagainya.
Alasan Mengapa Korban Memilih Diam dengan Kasus Kekerasan yang Menimpanya
Ada beberapa alasan mengapa penyintas tidak mau menceritakan maupun melaporkan kejadian yang menimpanya. Beberapa di antaranya karena adanya tekanan dan ancaman dari pelaku terutama apabila secara struktural atau pun status sosial pelaku ada di atas korban. Kemudian, korban secara internal juga mengalami ketakutan yang amat sangat dikarenakan dalam stigma masyarakat perempuan selalu dianggap sebagai sebab terhadap akibat yang terjadi pada dirinya, tak terkecuali kekerasan/pelecehan seksual. Beberapa di antaranya seperti disalahkan bila ia memakai pakaian mini nan mengundang syahwat, berjalan di tempat sepi sendirian, dan sebagainya. Belum lagi perempuan disimbolkan sebagai makhluk berharga karena kesucian dan kebersihan lahir batinnya. Hingga bila kesucian (baca: keperawanan) dirinya telah terenggut, maka tiada ampun bagi perempuan untuk tidak diangap hina di mata masyarakat. Padahal perempuan di dunia kerja dan akademisi dengan pakaian tertutup pun turut menjadi korban atas superioritas laki-laki dan ketidakberdayaan dalam membela diri.
Hal tersebut pada akhirnya menjadikan korban lebih memilih diam serta menyimpan sendiri kejadian yang mereka alami sebab terus merasa takut dengan perspektif buruk masyarakat yang akan mereka terima. Mereka juga cenderung kecewa dan menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa menjaga diri. Selain itu, mereka tidak mengetahui bagaimana dan ke mana mereka harus meminta keadilan serta dukungan. Bahkan tak jarang pula dari mereka kemudian mengambil jalan bunuh diri. Padahal bila korban berani untuk membela diri dengan melaporkan dan memperjuangkan keadilan atas kasus yang menimpanya, maka kemungkinan besar akan muncul penyintas lain di mana hal ini menjadi penguat dan penguakan kasus kekerasan seksual yang selama ini bungkam.
Perlunya Menjadi Perempuan Tegas dan Berdaya
Sikap tegas dan berani pada diri perempuan, terutama jika sedang dalam keadaan disudutkan oleh pelaku kekerasan seksual adalah dengan menolak, marah, memberontak, berteriak maupun melakukan pembelaan secara fisik seperti memukul dan sebagainya. Hal ini merupakan bentuk sikap tegas pembelaan diri agar tak dilecehkan begitu saja dan eksistensi keberdayaan perempuan dengan memiliki sikap asertif juga pembelaan agresif terhadap pelaku kekerasan seksual.
Sedangkan ketika kita mendapati perlakuan tidak pantas terhadap perempuan lain terutama di ruang publik, ada hal yang bisa dilakukan untuk mencegah maupun ikut melakukan perlawanan agar tidak berlanjut semakin parah. Di antaranya seperti menarik perhatian korban dengan mengajaknya berbicara, menegur pelaku, merekam tindakan tersebut, maupun melakukan pembelaan serta perlindungan secara fisik bila perbuatan pelaku bisa menimbulkan kerugian, sebelum akhirnya mengajak korban untuk berani melapor pada pihak berwenang.
Sikap dan perilaku saling melindungi antar perempuan inilah yang harus senantiasa dilakukan, baik sudah saling mengenal maupun belum. Kita tidak boleh diam saja atau bahkan menghakimi dan menambah beban psikis dengan menyalahkan atau menyudutkan korban. Cobalah untuk melihat kejadian dari sudut pandang dan perasaan mereka. Bagaimana pun, kita perlu untuk saling mendukung, membangun relasi dengan kokoh, dan menyebarkan energi positif antarperempuan dalam memperjuangkan keadilan, meminimalkan tindak kejahatan, dan berani bersikap atas hal negatif seperti kekerasan seksual.
Editor : Amilia Buana Dewi Islamy
Ilustrator : Sofyan Adi Nugroho