Pendidikan sebagai Sarana Pembangun Kesadaran Kritis dan Peningkatan Kualitas Diri Perempuan
Maturmu.id - Sebelum kemerdekaan, pendidikan hanya dinikmati oleh kaum perempuan dari kalangan bangsawan. Pada masa kolonial Belanda hanya ada beberapa orang perempuan, khususnya dari kelompok masyarakat bangsawan, yang telah mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan formal. Sementara kelompok lainnya hanya mendapat pendidikan nonformal dan buta huruf. Ada empat golongan perempuan pada masa itu yaitu; Pertama, golongan miskin mereka tidak mendapatkan akses pendidikan, mereka belajar melakukan pekerjaan di sawah kemudian menjual hasilnya. Kedua, golongan menengah (cukup mampu) juga tidak bersekolah mereka belajar melakukan pekerjaan rumah dan menikah di usia 12-15 tahun. Ketiga, golongan santri tidak bersekolah yang hanya mendapat pelajaran agama di rumah agar dapat melaksanakan ibadah agama yang menjadi kewajibannya dan mengajarkannya kepada anak-anaknya. Dan keempat, adalah golongan bangsawan. Mereka sekolah dasar hingga berusia 12 tahun lalu setelahnya dipingit untuk kemudia dinikahkan usia 15 atau 16 tahun. Sampai saat ini isu keterdidikan perempuan masih terus menjadi perhatian sejumlah pihak, termasuk pemerintah.
Tercapainya pemerataan kesempatan belajar dianggap penting karena di Indonesia masih terdapat banyak anggota masyarakat yang belum mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan, terutama kaum perempuan. Hal ini karena dalam masyarakat patriarkat perempuan dianggap sebagai makhluk domestik yang harus tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik (Fakih, 2006).
Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan. Hal ini sesuai dengan UUD 1945, pasal 31 dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa dengan mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam pendidikan dan mengembangkan potensi dirinya yang akan mendukung perannya di masyarakat, kaum perempuan memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai manusia. Kualitas tersebut dapat dilihat dari perubahan cara berfikir dan bersikap yang mencerminkan adanya kesadaran diri dan kemampuan atas identitas dirinya.
Menurut pandangan Tilaar (2009:52) pendidikan merupakan proses pemerdekaan atau kesadaran akan kebebasan manusia yang memiliki potensi-potensi tertentu dalam hidupnya berhadapan dengan alam sekitarnya. Selanjutnya, kesadaran tersebut menjadi dasar untuk mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam menempuh pendidikan turut dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang serta masih dianut oleh sebagian keluarga dan masyarakat. Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa laki-laki adalah penopang ekonomi keluarga sehingga lebih penting dan utama untuk memberikan pendidikan yang lebih tinggi kepada laki-laki. Anak perempuan dianggap tidak memerlukan kepandaian apa pun di dalam hidupnya karena kewajibannya dalam rumah tangga bukan sebagai pencari nafkah.
Faktor nilai sosial budaya tersebut juga berkaitan dengan faktor ekonomi, yang menyangkut minimnya ketersediaan biaya pendidikan dan membutuhkan pilihan dalam penyediaan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan.
Dalam sejarah Indonesia, pemikiran mengenai pentingnya keterdidikan perempuan telah tampak pada surat-surat Kartini kepada para sahabatnya di Belanda.
“Karena saya yakin sedalam-dalamnya, perempuan dapat menanamkan pengaruh besar ke dalam masyarakat, maka tidak ada sesuatu yang lebih baik dan sungguh-sungguh yang saya inginkan kecuali dididik dalam bidang pengajaran, agar kelak saya mengabdikan diri kepada pendidikan anak-anak perempuan kepala-kepala bumiputera. Aduhai, ingin sekali, benar-benar saya ingin mendapat kesempatan memimpin hati anak-anak, membentuk watak, mencerdaskan otak muda, mendidik perempuan untuk masa depan, yang dengan baik akan dapat mengembangkannya dan menyebarkannya lagi”. (Surat Kartini kepada Nyonya N. Van Kol, Agustus 1900, Sulastin-Sutrisno 1979-119)
Upaya untuk mencapai keterdidikan perempuan di masa sekarang sudah harus lebih ditingkatkan, dan untuk mencapai keterdidikannya harus ada jaminan dari masyarakat dan pemerintah yang memberikan kesempatan pada perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan yang mudah. Perjuangan untuk mencapai keterdidikan perempuan merupakan hal yang penting. Perjuangan kaum perempuan untuk mendapat akses pendidikan setinggi-tingginya diawali oleh Kartini, Roehana Koeddoes, dan Dewi Sartika. Mereka mengemukakan bahwa pendidikan adalah syarat mutlak manusia yang berkualitas dan dengan melalui kualitas itulah seseorang bisa meraih kemerdekaan dan kebebasannya.
Editor : Rahayu Suciati
Ilustrator : Sofyan Adi Nugroho