Sekularisme dan Terorisme Perempuan
Ahmad Nurwakhid, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengenai perempuan yang terlibat jaringan terorisme. Kelompok teroris merekrut perempuan karena dinilai peka dan lebih perasa. Biasanya perempuan melakukan sesuatu dengan totalitas. Kelompok teroris menganggap aparat keamanan abai dengan perempuan yang cenderung menjaga sikap, apalagi perempuan berhijab, tuturnya dalam kompas.com (07/04).
Apa yang disampaikan Nurwakhid ini, justru memicu curiga dan ketakutan pada perempuan berhijab. Bukan tidak mungkin, islamophobia hingga hijabphobia kian meningkat seiring dideraskannya narasi ini. Padahal di saat yang sama tak sedikit perempuan yang mengalami krisis akhlak. Mereka mengumbar bahkan menjual aurat yang memicu pelecehan seksual, prostitusi, perselingkuhan, dan perbuatan amoral lain, namun ini tak mendapatkan tindakan tegas untuk menghentikannya.
Pernyataan Nurwakhid ini juga juga menunjukkan bahwa sekularisme semakin gencar diaruskan di negara ini. Sekularisme memandang bahwa agama tidak boleh mengekang manusia. Martin Putra Perdana dalam gontor.ac.id menyatakan, sekularisme yang bermula di Barat sebenarnya berasal dari agama Kristen. Seperti dijelaskan dalam Gospel Matius XXXII: 21 tercatat ucapan Yesus: “Urusan Kaisar serahkan saja pada Kaisar, dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan.”
Dengan prinsip inilah penjajahan di masa lalu dilakukan oleh para negara imperialis untuk mengeruk kekayaan alam suatu negeri sekaligus memperbudak penduduknya. Hal itu pula yang dilakukan Belanda dan sekutunya di nusantara selama 350 tahun. Tak sedikit pahlawan muslim yang menggelorakan semangat melawan penjajahan dicap radikal, diasingkan, bahkan dihilangkan nyawanya.
Meski penjajahan secara fisik berakhir sejak Proklamasi kemerdekaan Indonesia namun ajaran sekularisme ini masih membekas hingga sekarang. Bahkan sekularisme saat ini semakin radikal, hingga mengarah kepada ateisme yang anti Tuhan.
Sekularisme juga memberangus pemikiran yang mengaitkan antara nash dengan realitas. Nash-nash syara’ yang syamil mutakamil (sempurna dan menyeluruh) hakikatnya mampu menjawab semua persoalan hidup manusia jika digali melalui proses berfikir yang benar. Yakni tafkir al-mustanir, sebuah proses berfikir kritis, mendalam, jernih, dan cemerlang mengaitkan antara nash yang tekstual dengan realitas yang kontekstual.
Namun karena adanya sekularisme, manusia dibiasakan berfikir dangkal. Terutama perempuan yang memang secara alamiah lebih dominan perasaan daripada akal sehatnya. Dari sinilah bibit terorisme di kalangan perempuan berhijab muncul. Individu maupun sekelompok muslim yang mencintai islam namun tak mampu berfikir mustanir untuk memahami makna hakiki nash syariah ini, lantas mudah didoktrin dengan pemahaman yang salah kaprah terhadap dalil. Mereka serampangan memaknai istilah-istilah syar’i semacam jihad, mati syahid, kafir, thaghut, dll.
Kegagalan dalam berfikir akibat sekularisme semakin nyata merusak perempuan, bahkan merusak peradaban manusia. Tidak menutup kemungkinan tindakan kriminal lain yang dilakukan oleh perempuan akan lebih buruk dari terorisme ini. Sudah banyak tindakan sadis melebihi sadisnya terorisme yang dilakukan perempuan di Indonesia. Kita sudah sering disuguhi berita seorang istri membunuh suaminya sendiri, ibu membunuh anak kandungnya, anak perempuan membunuh anak balita, dll.
Lantas apa yang ditunggu? Sudah saatnya kita kembali pada tradisi berfikir yang benar. Ratusan ayat Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk senantiasa memikirkan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah dalam kitab qauliyah (Nash Al-Qur’an dan hadis) dan kitab kauniyah (alam semesta dan realitas kehidupan) serta kaitan antar keduanya itu.
Tafkir al-mustanir ini lantas menjadi tradisi yang senantiasa diasah sejak Rasulullah saw. diutus menjadi Nabi dan dipelihara secara kontinu oleh para Khalifah setelahnya dalam bentuk tatsqif (pembinaan), taklim (pengajaran), dan tarbiyah (pendidikan), baik secara formal maupun informal yang mana negara memfasilitasi dengan sarana dan prasarana terbaik dan mengontrol kualitas outputnya secara ketat.
Tradisi berfikir mustanir telah melahirkan tokoh intelektual, pemikir, ilmuwan, arsitek, politisi, dokter, guru, dan profesional hebat lainnya di kalangan perempuan muslimah. Sejak Aisyah ra. menjadi rujukan hadis sekaligus rujukan ilmu pengobatan para sahabat Rasulullah Saw, hingga istri Khalifah seperti Amatul’aziz (hidup pada abad 8 Masehi) yang lebih dikenal dengan nama Zubaidah sang arsitek Darb Zubaidah.
Darb Zubaidah adalah terusan yang menghubungkan Kufah hingga Mekkah. Dimana terusan ini sangat memudahkan jamaah haji, musafir, serta para pedagang untuk melaksanakan perjalanan mereka secara aman. Wikipedia.org mencatat Pemerintah Arab Saudi mendaftarkan Darb Zubaidah sebagai Situs Warisan Dunia kepada UNESCO pada tahun 2015.
Inilah bukti nyata jika seorang perempuan memiliki visi dan misi hidup yang cemerlang digali dari proses tafkir al-mustanir benar-benar mampu memberikan kontribusi brilian untuk masyarakat bahkan hingga ratusan tahun setelah wafat. Pemikiran cemerlang ini berasal dari pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam yang tak hanya sekadar dipelajari ritualnya saja tetapi juga digali aspek-aspek sosial, politik, hingga ideologinya.
Dengan demikian, tak ada cara lain untuk menyelamatkan perempuan dari jerat terorisme ini selain dengan mendidik mereka berdasarkan ideologi Islam. Dan ini tidak hanya berlaku bagi perempuan. Lelaki pun wajib memahami Islam secara ideologis sehingga peradaban gemilang manusia bisa diraih kembali sebagai mana yang terjadi di era kekhilafan di masa lalu. Wallahu A’laam.
Opini ini pernah dimuat di fanpage Dakwah Nisa Sulsel pada Selasa, 13 April 2021
Editor : Rahayu Suciati
Ilustrator : Sofyan Adi Nugroho