Doa Lintas Agama: Toleransi Kebablasan
Beberapa waktu lalu, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas meminta Kementerian Agama memberi kesempatan pada agama lain mengisi doa dan tidak hanya doa untuk Islam saja. Menurutnya, ini agar menjadi representasi keterwakilan masing-masing pemeluk agama di lingkup kepegawaian Kemenag (kumparan.com).
Meskipun Yaqut mengatakan doa lintas agama hanya untuk internal kementeriannya, namun sebagai muslim ia tetap wajib terikat dengan syariat islam. Maka tidak bisa dipungkiri, pernyataan Yaqut ini kemudian menuai reaksi beragam. Salah satunya, dari pengamat sosial ekonomi dan keagamaan, Anwar Abbas yang juga PP Muhammadiyah. Ia menilai Yaqut tidak menempatkan arti toleransi pada tempatnya.
“Tidak usah orang Islam menyampaikan salam agama lain. Begitu pula sebaliknya, orang Hindu silakan salamnya sesuai Hindu, dan tidak usah menyampaikan salamnya Islam. Dalam hal inilah kata toleransi itu punya makna tanpa ada keterusikan teologis pada diri masing-masing,” ungkapnya seperti yang dikutip dalam kumparan.com.
Inilah yang dikhawatirkan jika toleransi beragama sudah kebablasan. Doa lintas agama adalah praktik sinkretisme agama yang merusak aqidah Islam. Republika.com mengutip John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern menyebutkan, sinkretisme adalah fenomena bercampurnya praktik dan kepercayaan dari sebuah agama dengan agama lain sehingga menciptakan tradisi yang baru dan berbeda. Tradisi baru tersebut sulit untuk dibedakan dengan praktik bid’ah.
Bid’ah merupakan kecelakaan dalam beragama. Bahkan Rasulullah saw. menyebut ini sebagai kesesatan. Beliau bersabda, “sungguh, sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim no. 867)
Di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini, bid’ah tampaknya tidak dianggap sebagai masalah. Bahkan tidak sedikit bid’ah justru dilakukan oleh pemerintah sendiri yang notabene adalah pemimpin muslim. Ini disebabkan karena memang asas bernegara dibangun tidak berdasarkan aqidah Islam. Keselamatan aqidah Islam menjadi hal mahal di negeri ini, bahkan dikikis oleh pemerintah muslim sendiri.
Hal ini tentu berbeda jika pemerintah menjadikan aqidah Islam sebagai dasar negara. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. hingga para Khalifah setelahnya. Prinsip “lakum diinukum waliya diin” diterapkan secara nyata dalam kehidupan. Dalam sebuah kisah yang masyhur, Rasulullah saw. selalu memberi sedekah kepada siapa saja, tidak terkecuali seorang pengemis Yahudi buta di Madinah. Beliau selalu menyuapinya hingga wafat, padahal Yahudi itu selalu mencaci Rasulullah saw.
Namun, dalam riwayat lain, Rasulullah saw. menunjukkan sikap yang berbeda kepada Umar. Imam Ahmad bin Hanbal menuliskan dalam Musnad, Umar bin Khattab r.a. pernah membawa potongan ayat Taurat asli yang menurutnya sarat makna dari seorang Yahudi. Ia lalu menunjukkan pada Rasulullah saw. Seketika wajah Beliau merah menahan marah. Menyadari hal itu Umar r.a. lantas berkata, “saya rela Allah Ta’ala sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad saw. sebagai Nabiku.”
Mendengar hal tersebut, hilanglah kemarahan Beliau. Kemudian Rasulullah bersabda, “demi Allah Ta’ala yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, jika Musa berada di tengah-tengah kalian, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, niscaya kalian sesat. Sungguh, kalian adalah umat yang menjadi bagianku dan aku merupakan Nabi yang menjadi bagianmu.”
Demikianlah gambaran nyata toleransi beragama yang benar. Toleransi bukan membenarkan semua agama. Toleransi bukan pula mengikuti ajaran agama lain sekalipun ajarannya dianggap baik. Toleransi bukan pula mencampurkan ajaran/ritual agama lain dengan Islam. Toleransi bagi seorang muslim adalah berpegang teguh terhadap aqidah dan syariah Islam, sebagai prinsip dalam hidupnya. Dengan prinsip ini seorang muslim tentu akan menjadi sosok berkepribadian Islam dan memancarkan akhlaqul karimah. Ia tak hanya menghadirkan kebaikan bagi diri dan agamanya, tapi juga membawa maslahat dan kasih sayang antar umat beragama.
Apalagi jika aqidah dan syariah Islam ini diaplikasikan dalam kehidupan bernegara. Bukan hanya muslim dan non-muslim yang mendapat kedamaian, tapi semua makhluk di muka bumi ini akan merasakannya. Sebab Allah swt. telah menjamin, dalam Surat al-Anbiya’ ayat 107: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan liralamin)”. Wallahu A’laam.
Editor : Rahayu Suciati
Ilustrator : Sofyan Adi Nugroho