CerpenMatur Sastra

Perkara Mudik

Aku kesepian di kota ini. Suasana begitu sunyi. Di tengah pagebluk yang berkepanjangan, banyak orang telah pulang ke kampung halamannya. Sedang yang masih tinggal, malah makin enggan untuk saling bersua. Mereka, termasuk aku, jadi terbiasa dan lebih suka untuk mengurung diri di dalam kamar, sembari bermain-main dengan kebosanan.

Namun di tengah lingkungan kos-kosanku yang makin lengang, aku tidaklah terasing sepenuhnya. Aku masih bisa melihat gerak-gerik tetangga kamarku, ataupun mendengar-dengar obrolan mereka. Terlebih, aku telah mengenal dan mengakrabi seorang bocah berumur 9 tahun bernama Makmur, yang merupakan penjaja gorengan dan es buah sejak bulan puasa, yang selalu bertandang ke kamarku setiap sore, setelah aku menjadi langganannya.

Atas kondisi keuanganku yang kritis setelah aku kehilangan pekerjaan dari sebuah perusahaan yang melakukan pengurangan karyawan akibat pandemi, keberadaan Makmur jelas sangat membantuku untuk bertahan hidup. Apalagi, jajanannya terhitung murah, dan aku tak perlu lagi repot-repot keluar dari kos-kosan untuk sekadar mencari pengganjal perut demi menghadapi hari-hari yang keras.

Pada Makmur juga, aku senantiasa berbagi kata di tengah minimnya komunikasi dengan orang lain seiring penegakan protokol kesehatan. Setidaknya, dalam sehari, aku masih bersuara atas kehadirannya, sehingga aku terhindar dari stres yang berat. Apalagi ia memang menyenangkan untuk menjadi teman mengobrol. Ia selalu ceria dan suka bercerita tentang kehidupannya dengan penuh kepolosan.

Pada satu hari, ia pun kembali bertandang ke kamarku dengan penampilan dan sikap yang seperti biasa. Ia mengenakan masker dan kaos tangan. Ia juga berusaha untuk tidak berkontak fisik denganku saat bertransaksi. Bahkan ia lekas mengambil jarak setelah perkara kami selesai. Ia tampak begitu mematuhi aturan kesehatan untuk menangkal penyebaran virus corona, sebagaimana pesan ibunya, sedang aku tidaklah sepatuh itu.

Seketika kemudian, setelah aku menyerahkan uang bayaran untuknya, tiba-tiba, aku jadi tertarik mengikis kebosananku sendiri. Di bangku teras depan kamarku, akhirnya, aku pun memancing obrolan dengan menanyakan perihal kehidupannya, “Ayahmu kerja apa, Dik? Kok, kamu semangat betul berjualan?”

Ia pun tersenyum simpul sekilas. “Ayahku sudah meninggal, Kak. Aku berjualan begini untuk membantu ibuku mencari uang,” jawabnya, dengan sikap tenang, tanpa menyiratkan kesedihan.

Aku sontak terenyuh sekaligus kagum menyaksikan semangat hidupnya. “Tetapi sekolahmu masih berjalan baik, kan?”

Ia mengangguk tegas. “Iya, Kak. Aku pun akan sekolah sampai sarjana, untuk membahagiakan ibuku,” tuturnya, lantas tertawa pendek.

Seketika, aku jadi terharu. Diam-diam, aku terkenang pada ibuku di kampung. “Memangnya, cita-citamu apa?” tanyaku lagi.

“Aku mau jadi dokter, Kak,” jawabnya, penuh keyakinan.

“Kenapa dokter?” selidikku.

“Kata ibuku, dokter itu berguna untuk orang lain. Bisa menyembuhkan orang yang sakit, termasuk orang yang terkena virus korona seperti sekarang,” terangnya, dengan raut polos. “Apalagi, kata ibuku, jadi dokter itu enak. Bisa punya banyak uang. Dan kalau sudah punya banyak uang, aku pun bisa menikah,” sambungnya lagi, lantas tertawa.

Aku pun tergelak mendengar jalan pikirannya yang lugu, lalu melepas batuk beberapa kali.

Baca Juga  Bukan Membela Allah, Jika Mencederai Manusia Lain

Kami kemudian saling mendiamkan untuk beberapa saat.

Hingga akhirnya, ia menyentilku dengan pertanyaan, seolah-olah ia bisa membaca suasana hatiku, “Aku lihat-lihat, kakak tak seceria sebelum-sebelumnya. Apa Kakak ada masalah?”

Aku pun jadi bingung menjawab pertanyaannya. Apalagi, belakangan waktu, aku memang dirundung banyak masalah. Tetapi mengutarakan persoalan hidupku kepadanya, kurasa, juga tidak terlalu berarti. Maka akhirnya, aku pun menjawab saja secara diplomatis. “Orang dewasa sepertiku, sehari-hari, pasti menghadapi banyak masalah, Dik.”

“Memangnya, Kakak menghadapi masalah-masalah apa?” tanyanya, tampak penasaran.

Aku lantas mendengkus dan melayangkan senyuman. “Banyak, Dik. Kelak, saat kau sudah dewasa, kau pun akan merasakannya sendiri.”

Ia pun mengangguk-angguk saja, dan tak lagi membalas, seolah mengerti bahwa ia terkesan kurang sopan jika menyelidik lagi. Hingga akhirnya, ia pamit dan berlalu untuk menawarkan jajanannya kepada orang yang lain.

Akhirnya, aku kembali larut ke dalam kenyataan hidupku yang memprihatinkan dan memilukan. Sebagai seorang lelaki yang telah menyandang gelar sarjana selama delapan tahun, aku sungguh merasa malu atas keadaanku sebagai seorang pengangguran yang hidup dengan daya keuangan yang mengkhawatirkan. Maluku pun bertambah atas kenyataan bahwa di tengah ketidakmapanan itu, aku tak bisa berharap tentang masa depan, termasuk untuk menikah dengan seorang wanita.

Kekalutanku kemudian makin menjadi-jadi setelah ibuku menelepon dan menyiratkan kerinduannya, “Apa lebaran nanti kau akan pulang ke sini, Nak?”

Sontak saja, aku kelimpungan meramu balasan yang tepat untuk pertanyaannya. Di dalam hati, tentu aku rindu dan sangat ingin berjumpa. Tetapi atas keadaanku sebagai seorang sarjana pengangguran, aku sungguh merasa berat untuk menampakkan diri di kampung. Aku sungguh tak punya pencapaian apa-apa yang patut untuk aku banggakan di tengah masyarakat. Bisa jadi, kalau nekat mudik, aku malah akan mendapatkan sindiran-sindiran sinis dan merendahkan, yang akan membuat ibuku merasa rendah diri di tengah para orang tua yang gemar menyombong-nyombongkan pencapaian anaknya di hari lebaran.

Tetapi dampak pandemi, ternyata juga memberikan jalan pelarian bagi kekalutan hatiku. Pasalnya, pemerintah telah mengeluarkan aturan larangan mudik yang bisa kujadikan alasan yang tepat untuk tidak pulang kampung. “Maaf, Bu. Untuk lebaran tahun ini, aku tidak bisa pulang. Ibu tahu sendiri, kan, kalau pemerintah melarang orang-orang untuk mudik,” kilahku kemudian.

Di ujung telepon, ibuku terdengar melenguh. Terkesan berat untuk menjalani lebaran seorang diri, tanpa kehadiranku sebagai anak semata wayangnya, ataupun ayahku yang telah lama meninggal. “Apa kau tak bisa mengusahakannya, Nak?”

Aku pun mendengkus. Menyuratkan keputusasaanku. “Tidak bisa, Bu. Para petugas mengadakan patroli di sepanjang jalan. Kalau aku nekat pulang, bisa-bisa, aku malah ditahan dan disuruh putar balik.”

Seketika, ia terdengar mengeluh.

“Lagi pula, memang sebaiknya aku tidak pulang, Bu, untuk kebaikan ibu juga. Bagaimanapun, virus korona masih merajalela. Aku khawatir pulang ke kampung dan malah membawa petaka untuk Ibu dan orang-orang sekampung,” tambahku lagi, untuk makin meyakinkannya agar menerima keputusanku.

Baca Juga  Menjadikan Ramadan Sebagai Wahana Evaluasi Diri

Dan akhirnya, ia pun menyerah. “Baiklah, Nak. Jangan kau paksakan kalau bagitu. Yang penting, di situ, kau baik-baik saja.”

“Iya, Bu,” balasku, dengan tenang hati “Semoga ibu juga baik-baik saja.”

Sesaat kemudian, sambungan telepon pun terputus.

Akhirnya, dengan perasaan setengah berdosa, aku merasa telah mengambil keputusan yang tepat. Apalagi, jikalau mudik, tidak hanya persoalan pekerjaan dan keuangan yang akan menjadi beban rundunganku. Persoalan pernikahan yang kerap menjadi bahan perbincangan di hari lebaran, juga pasti menerpaku. Pasalnya, lewat media sosial, aku yakin, orang-orang di kampungku telah tahu bahwa aku sudah memiliki kekasih, dan mereka akan menanyaiku perihal jadwal pernikahan.

Pertanyaan soal rencana pernikahan, memang bukan hal yang ganjil di hari lebaran. Namun bagiku, pertanyaan itu jelas sangat meresahkan dan menyakitkan. Alasannya, hubunganku dengan kekasihku telah berakhir akibat keadaan hidupku yang menyedihkan. Perempuan itu telah mencampakkanku karena proyeksi masa depanku yang suram atas statusku sebagai seorang sarjana pengangguran.

“Jangan mengharapkan aku lagi!” tegas perempuan itu, di hari perpisahan kami, di teras depan kamar kos-kosannya, di tengah emosinya yang memuncak setelah aku tak memberikan kado apa-apa di hari ulang tahunnya. Ia lalu mengembalikan gantungan kunci yang kuberikan untuknya sebagai tanda perikatan kami sebagai sepasang kekasih.

Sontak, aku terkejut mendengar pernyataannya. Tubuhku hanya mematung menyambut pengembaliannya.

“Aku tak mungkin bisa bertahan dengan keadaanmu yang tidak jelas seperti ini,” tuturnya lagi, dengan nada suara yang sedikit merendah, lantas mendengkus dan melepas batuk beberapa kali.

Aku lalu memandang raut wajahnya yang muram, kemudian memelas, “Maafkan aku. Berikan aku kesempatan untuk memperbaiki keadaanku dan membahagiakanmu. Aku janji, suatu saat, aku akan menjadi orang yang sukses dan menikahimu.”

Ia lantas melengos. Lalu dengan bibir yang bergetar, ia pun menghardik keadaanku. “Apa? Bagaimana mungkin kau akan menikahiku dengan statusmu yang pengangguran dan keadaan keuanganmu yang memprihatinkan?”

Seketika, aku pun tercegat mendengar ucapannya. Aku sungguh tak menduga bahwa ia tega merendahkanku seperti itu.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia pun berbalik dan masuk ke dalam kamarnya. Ia lalu mengunci pintu rapat-rapat, seturut dengan pintu hatinya.

Perasaanku pun hancur seketika. Aku lalu pergi, sembari mengusap air mata di pipiku.

Akhirnya, sejak saat itu, aku benar-benar terpuruk. Aku merasa kehilangan semangat hidup. Semua harapanku atas masa depan, menjadi hancur berkeping-keping. Yang tersisa hanyalah kekesalanku terhadap takdir dan keadaan hidupku, juga kebencian terhadap mantan kekasihku.

Sejak momen perpisahan itu pula, hari demi hari, aku jadi lebih suka menyendiri di dalam kamarku, sambil meresapi kemalanganku yang bertumpuk-tumpuk. Aku jadi makin larut di dalam penderitaanku, sembari berharap mantan kekasihku merasakan penderitaan yang sama. Sampai akhirnya, kekalutan hatiku perlahan memengaruhi kondisi fisikku. Suhu tubuhku makin meninggi, kepekaan indra penciuman dan pengecapanku makin susut, dan daya tubuhku makin melemah.

Di tengah keadaan fisik dan psikisku yang kacau, pikiranku pun mulai disesaki sangkaan yang macam-macam. Apalagi, gejala-gejala yang kurasakan tampak seperti gejala pengidap virus korona, sebagaimana informasi yang kutahu dari layar televisi atau internet. Tetapi atas kepahitan hidup yang kualami, aku merasa enteng saja dan tak gentar menghadapi akhir yang buruk. Aku merasa lebih baik mati demi mengakhiri segenap penderitaanku, yang sekaligus akan memulai penyesalan dan penderitaan hidup bagi mantan kekasihku.

Baca Juga  Kesadaran Hak Antar Manusia Atas Alam

Pada waktu kemudian, aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Pernapasanku sesak dan makin berat. Kesadaranku pun turut menjadi kacau. Beberapa orang dengan pakaian serupa astronaut, akhirnya datang dan memberikan perlakuan khusus untukku. Sejak saat itu, aku pun menyadari bahwa aku tengah berada di tengah perjuangan untuk bertahan hidup melawan virus korona, ketika sisi hatiku yang lain malah ingin menyerah pada kematian atas keadaan hidupku yang runyam.

Tetapi di tengah keputusasaanku untuk bertahan, perlahan-lahan, aku mendapatkan gairah hidup setelah aku teringat pada Ibuku. Aku merasa tak sepatutnya menderita dan bahagia selain atas dirinya yang telah merawat dan membesarkanku sejak kecil. Aku merasa tak sepatutnya menyerah hanya kerena perkara dunia, apalagi sekadar perkara seorang mantan kekasih.

Akhirnya, demi ibuku, aku terus berjuang untuk bertahan hidup. Aku bertekad menyongsong harapan di hari esok untuk membahagiakan dirinya. Dan atas semangat itulah, keadaanku terus membaik. Satu per satu perkara fisikku akibat serangan virus korona, mulai mereda atas perlawanan imun tubuhku. Hingga akhirnya, aku pulih, meski tak lagi sebugar sediakala.

Di tengah keadaanku yang lemah, aku pun mulai menemukan bahan kebahagian yang baru. Setidaknya, aku kembali menyaksikan keberadaan teman kecilku, Makmur, dari balik kaca jendela kamar perawatanku. Ia tampak berdiri di teras luar, bersama seorang perempuan paruh baya yang kutaksir sebagai ibunya, sembari tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku.

Sesaat kemudian, aku pun jadi sangat penasaran untuk mengetahui kabar-kabar yang telah kulewatkan selama berhari-hari. Aku kemudian menengok layar ponselku dan mengecek informasi yang telah kuterima. Sampai akhirnya, aku menyaksikan tiga panggilan tak terjawab dari ibuku, juga sebuah pesan singkat darinya: Kenapa kau tak menjawab teleponku, Nak? Apa kau baik-baik saja.

Dengan penuh keharuan dan kesyukuran, aku lekas membalas pesannya dengan jawaban sepantasnya: Aku baik-baik saja, Bu. Maaf, karena beberapa hari yang lalu, ponselku rusak, sehingga aku tak menjawab panggilan Ibu. Aku tak ingin berterus terang kepadanya perihal keadaan kritis yang telah kulalui, sebab aku tak ingin membuatnya cemas dan khawatir.

Hingga akhirnya, pada ruang maya yang lain, di beranda Facebook, aku menemukan unggahan-unggahan yang sungguh menyentak perasaanku. Serangkaian unggahan berisi ucapan-ucapan penyemangat untuk mantan kekasihku yang kabarnya tengah berada dalam keadaan kritis akibat serangan virus korona.

Seketika, aku pun tersadar bahwa keputusanku untuk tidak mudik adalah sebuah keputusan yang baik untuk ibuku.***


Ilustrator : Sofyan Adi Nugroho

4.7 3 votes
Article Rating

Ramli Lahaping

Bloger (sarubanglahaping.blogspot.com)

Related Articles

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Check Also
Close
Back to top button